oleh

Memaknai Ketuhanan Yang Berkebudayaan

Oleh :
William Hendri, SH., MH
Wakil Sekretaris ICMI Orda Kota Tanjungpinang
Ketua Badan Pelaksana Kaderisasi (BAPEKA) Pemuda Pancasila Kota Tanjungpinang

“Marilah kita di dalam Indonesia Merdeka yang kita susun ini, sesuai dengan itu, menyatakan: bahwa prinsip kelima daripada negara kita ialah ke-Tuhanan yang berkebudayaan, ke-Tuhanan yang berbudi pekerti luhur, ke-Tuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain”.

Kata ketuhanan yang berkebudayaan sebagaimana tersebut adalah ungkapan Soekarno dalam mendefinsikan prinsip ketuhanan dalam Pancasila. Ungkapan sederhana yang memiliki kandungan filosofis dan dampak etis yang dalam.

Pendefinisian ketuhanan yang berkebudayaan memiliki dua ranah sekaligus. Satu sisi ranah ketuhanan dan satu sisi ranah kebudayaan. Oleh karena itu, ketuhanan yang berkebudayaan bisa dibaca dari perspektif kajian ketuhanan maupun kajian kebudayaan.

Istilah kebudayaan dalam ungkapan Soekarno adalah kebudayaan dalam arti filosofis. Soekarno bicara soal filsafat kebudayaan, yakni hakikat kebudayaan yang ada sebelum dan selama kebudayaan dipraktikkan manusia.

Yang dimaksud dengan kebudayaan oleh Soekarno tentulah keempat sila Pancasila di bawah sila Ketuhanan Yang Maha Esa.

Soekarno menyatakan bahwa ketuhanan yang berkebudayan adalah satu sari pati Pancasila, pengamalan sila ketuhanan haruslah melalui keempat sila dibawahnya meliputi sila kemanusiaan, persatuan dalam kemajemukan, kedaulatan rakyat dan keadilan sosial.

Keyakinan dan praktik ketuhanan kaum beragama haruslah dipraksiskan dalam kerja kemanusiaan menuju keadilan sosial. Keyakinan dan praktik ketuhanan yang bertentangan dengan prinsip ini secara otomatis bertentangan dengan prinsip dasar hidup bersama di bumi Indonesia.

Menurut Syaiful Arif, hakikat kebudayaan pada dasarnya bersifat transenden sekaligus imanen. Bersifat transenden karena ia melampaui praktik budaya. Bersifat imanen karena ia ada di dalam praktek tersebut. Kemudian J.W.M. Bakker menandaskan bahwa hakikat kebudayaan merujuk pada upaya manusia memanusiawikan dirinya melalui pemanusiaan kehidupan.

Di dalam proses kebudayaan, terdapat dua hal yang tak bisa terpisah, yakni pemanusiaan kehidupan dan pemanusiaan manusia. Artinya, tujuan pengolahan dunia-kehidupan adalah pemanusiaan kehidupan itu sendiri, demi pemanusiaan manusia. Dalam proses ini budi merupakan objek formal yang mengolah objek material berupa alam-kehudupan.

Hal ini membuahkan kata budaya yang diambil dari bahasa Sansekerta, budhi dan dhaya. Budhi adalah akal yang telah dicerahi oleh roh (Atma), sementara dhaya adalah kekuatan pewujud. Maka budhi-dhaya adalah merupakan proses pendayaan budi: perwujudan budi.

Budaya akhirnya menjadi proses kehidupan khas manusia. Karena differencia spesifica yang membedakan manusia dari hewan adalah budi, kehidupan khas manusia tentulah kehidupan yang berbudi.

Maka, batas kemanusiaan manusia terdapat pada kemampuannya untuk hidup dan mengolah kehidupan berdasarkan budi. Oleh karena itu, kausalitasnya bahwa karena budi merupakan kekhasan manusia, maka budaya menjadi pola kehidupan khas manusia. Dengan ini, pola kehidupan tak berbudi bukanlah pola kehidupan manusia. Hanya manusia yang berbudayalah yang betul-betul sempurna kemanusiaannya.

Ketuhanan yang berkebudayaan pada intinya adalah ketuhanan yang diamalkan demi perwujudan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Oleh karena itu, dalam memahami, mengimani, dan melaksanakan ajaran Tuhan, rakyat Indonesia mesti mengarahkan segenap praktik ketuhannya demi kesejahteraan manusia dan demi keadilan sosial. Ketuhanan yang berkebudayaan adalah ketuhanan yang manusiawi.

Artinya, praktik pengamalan iman atas Tuhan ditempatkan dalam kerangka pemuliaan martabat manusia yang memang sejak awal telah dimuliakan Tuhan.

Selanjutnya Syaiful Arif mengatakan bahwa ketuhanan dalam Pancasila memang bukan ketuhanan persepktif agama. Oleh karenanya, menjadi wajar jika Pancasila bukan agama dan tidak hendak menggantikan agama. Ketuhanan dalam Pancasila adalah nilai-nilai ketuhanan universal yang bisa saja diasupi dari tradisi agama-agama, tetapi ia otonom dari aturan kegamaan tertentu.

Dengan demikian, ketuhanan Pancasila bukanlah agama sehingga tidak boleh ada agama tertentu yang mendikte Pancasila. Penghindaran intervensi agama tertentu dalam Pancasila ini telah dilakukan melalui penghapusan “tujuh kata” dalam sila pertama Piagam Jakarta, yang berbunyi “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya”.

Dengan pengahapusan “tujuh kata” tersebut, ketuhanan dalam Pancasila dibebaskan dari bias agama tertentu demi menghindari hegemoni satu agama atas republik ini.

Penghapusan “tujuh kata” tersebut juga mencerminkan penghindaran RI sebagai negara agama. Karena yang dimaksud ketuhanan dalam sila pertama adalah Tuhan semua agama dan semua umat manusia maka agama justru tidak diberi ruang formal bagi regulasi negara.

Karena sifat etis ketuhanan yang dipilih Pancasila akan diberangus oleh watak legal keagamaan yang membuat Tuhan begitu formal, kaku, menakutkan, dan bahkan saling mengkafirkan. Watak ketuhanan yang kaku inilah yang diperjuangkan oleh kelompok fundamentalis yang ingin menegakkan “kedaulatan Tuhan” di atas kedaulatan rakyat.

Dikatakan oleh Ainur Rafiq al-Amin, kelompok fundamentalis agama menyebutkan bahwa Pancasila sebagai “ideologi kufur” karena beberapa hal. Pertama, Pancasila mengakomodir berbagai agama yang berbeda dalam prinsip persatuan. Kedua, Pancasila berisi berbagai ideologi non-agama seperti sosialisme, kapitalisme, dan nasionalisme.

Kedua hal inilah yang merupakan dosa besar Pancasila yang membuatnya harus ditolak dan diganti dengan ideologi satu agama.

Pada kesempatan lain, Abdurahmana Wahid mengatakan bahwa dalam acuan paling dasar, Pancasila berfungsi mengatur hidup kita sebagai kolektivitas yang disebut bangsa, sedangkan agama memberikan kepada kolektivitas tersebut tujuan kemasyarakatan (social purpose).

Tanpa tujuan kemasyarakatan yang jelas, hidup bangsa kita hanya akan berputar-putar pada siklus pertentangan antara cita pemikiran dan kecendrungan alamiah belaka. Agama justru menyatukan kedua unsur mutlak kehidupan itu dalam sebuah kerangka etis yang paripurna. Kerangka etis itulah yang harusnya melandasi moral Pancasila sebagai aturan permainan paling dasar bagi bangsa dan negara.

Jelas dengan demikian, antara agama dan Pancasila terdapat hubungan simbiotik, yang satu tak dapat hidup di Indonesia tanpa yang lain. Hubungan simbiotik itulah yang memunculkan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, bukannya sekedar ideologi negara belaka.

Hubungan agama dan negara merujuk pada “toleransi kembar” (twin toleration). Artinya, baik agama maupun negara sama-sama menghargai wilayah otonomnya masing-masing dan saling memperkuat dari wilayah otonom tersebut. Hal ini terjadi pada negara kita yang tidak didikte oleh konsep agama tertentu dalam bentuk konstitusionalnya.

Akan tetapi, meskipun bebas dari hegemoni konsepsi agama, negara RI adalah negara ketuhanan yang menjamin kebebasan beragama serta memfasilitasi pelaksanaan ibadah keagamaan. Hal serupa, agama juga tidak mengarahkan negara dalam ketunggalan konsep politiknya, layaknya yang terjadi pada tesis agamaisasi tunggal negara.

Ketiadaan agamaisasi tunggal negara tidak meniadakan peran agama dalam politik. Agama tetap menjadi spirit pembentuk keadaban politik. Hubungan “toleransi kembar” ini bisa terjadi dalam kerangka diferensiasi seperti gagasan yang pernah dilontarkan oleh Yudi Latif.

Dalam hubungan diferensiatif, agama dibedakan (distinction) dari negara, bukan dipisahkan (separation) dari negara. Diferensiasi adalah bagian dari proses modernisasi yang menciptakan pluralisasi klaim dari kemajemukan klaim kebenaran yang ditawarkan oleh sains, teknologi, etika, dan hukum.

Berdasarkan pluralisasi klaim kebenaran (nilai) ini, terbentuklah diferensiasi kelembagaan, dimana di masing-masing nilai dilembagakan dalam Kementerian Agama, MUI, PGI, WALUBI, atau NU dan Muhammadiyah. Sementara politik dilembagakan dalam negara. Kedua pola lembaga ini mengalami pembedaan yang saling toleran, tanpa ada pemisahan secara sekularis.

Mendasari hubungan “diferensiasi toleran” ini, ketuhanan yang berkebudayaan telah menandaskan kesatuan antara nilai ketuhanan dan politik. Politik dalam hal ini adalah upaya perwujudan keadilan sosial demi Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Oleh karena itu, proses diferensiasi yang terjadi pada ranah sosilogis didasari oleh kesatuan ketuhanan dan politik secara filosofis.

Kesatuan ini tercermin dalam istilah ketuhanan yang berkebudayaan yang menjadi sari pati nilai-nilai Pancasila. Dengan demikian, tidak ada pemisahan antara ketuhanan dan politik di dalam Pancasila. Yang terjadi sebaliknya: perwujudan keadilan sosial merupakan perwujudan dari iman ketuhanan. Inilah hakikat dari ketuhanan yang berkebudayaan itu. ***