Oleh:
Riva Failin Dwiyanti
2305040013
Jurusan Ilmu Hukum FISIP UMRAH
Perdagangan manusia atau human trafficking merupakan salah satu bentuk kejahatan trans nasional yang memiliki dampak serius terhadap keamanan, ekonomi, serta hak asasi manusia di Indonesia.
Salah satu kasus terbaru yang menjadi sorotan adalah pengungkapan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di Batam oleh Polda Kepulauan Riau (Kepri).
Kasus ini menjadi perhatian publik karena melibatkan oknum pegawai Badan Pengusahaan (BP) Batam, sebuah lembaga pemerintah yang bertanggung jawab atas pengelolaan kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas di Batam.
Fakta ini mengungkapkan tidak hanya adanya kelemahan dalam pengawasan internal lembaga pemerintah, tetapi juga menunjukkan betapa kompleksnya ancaman keamanan maritim di wilayah perbatasan Indonesia.
Batam, sebagai bagian dari Kepulauan Riau, memiliki posisi geografis yang strategis di jalur pelayaran internasional, berbatasan langsung dengan negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia.
Posisi ini menjadikannya sebagai salah satu pintu masuk dan keluar utama bagi migrasi manusia, baik secara legal maupun ilegal. Namun, kondisi ini juga membuka celah bagi sindikat perdagangan manusia untuk memanfaatkan wilayah ini sebagai jalur transit, dengan modus operandi yang semakin kompleks dan sulit terdeteksi.
Keterlibatan oknum pegawai BP Batam dalam kasus ini menambah dimensi baru dalam upaya pemberantasan TPPO, yakni perlunya pengawasan ketat terhadap integritas aparatur negara di wilayah perbatasan.
Penangkapan oknum pegawai BP Batam berinisial RS alias R menunjukkan adanya kelemahan dalam pengawasan pelabuhan, yang menjadi jalur keluar pekerja migran Indonesia (PMI) secara non-prosedural.
RS ditangkap setelah diketahui membantu meloloskan calon PMI dari Pelabuhan Ferry Internasional Batam Centre selama lebih dari setahun. Kasus ini menyoroti pentingnya pendekatan yang lebih komprehensif dalam pengawasan perairan Indonesia, termasuk dengan memanfaatkan instrumen hukum internasional seperti United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 untuk mengatur pengawasan, penegakan hukum, dan kerja sama antarnegara di wilayah perairan.
UNCLOS 1982 memberikan kerangka hukum bagi negara-negara pesisir, termasuk Indonesia, untuk mengatur zona maritim mereka, termasuk perairan teritorial, zona tambahan, dan zona ekonomi eksklusif (ZEE).
Dalam kerangka ini, negara memiliki kewajiban untuk mencegah dan memberantas kejahatan lintas batas seperti penyelundupan manusia, penyelundupan barang, hingga perdagangan manusia.
Namun, implementasi UNCLOS 1982 di Indonesia, khususnya dalam konteks pengawasan maritim di Batam dan Kepulauan Riau, masih menghadapi tantangan. Koordinasi antar-lembaga pemerintah seperti Imigrasi, TNI Angkatan Laut, Polri, serta lembaga penegak hukum lainnya seringkali tidak optimal.
Selain itu, keterbatasan teknologi pengawasan dan kurangnya kapasitas sumber daya manusia menjadi hambatan dalam mendeteksi dan mencegah aktivitas ilegal di wilayah perbatasan.
Kasus ini sekaligus menjadi refleksi akan perlunya memperkuat sinergi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, serta lembaga internasional untuk mengatasi ancaman perdagangan manusia yang semakin kompleks di wilayah maritim Indonesia.
Batam sebagai Pusat Transit Perdagangan Manusia
Kota Batam, yang terletak di Kepulauan Riau, memiliki posisi geografis yang strategis di Selat Malaka, salah satu jalur pelayaran tersibuk di dunia. Lokasinya yang berdekatan dengan Singapura dan Malaysia menjadikannya pusat ekonomi dan perdagangan yang penting.
Namun, di balik kemajuan ekonominya, Batam juga dikenal sebagai salah satu titik transit utama dalam jaringan perdagangan manusia (human trafficking) di wilayah Asia Tenggara.
Faktor-Faktor Batam sebagai Titik Transit Perdagangan Manusia
Letak Geografis Strategis
Batam berada di jalur pelayaran internasional yang menghubungkan Samudera Hindia dengan Laut Cina Selatan. Kedekatannya dengan negara-negara tujuan migrasi ilegal, seperti Singapura dan Malaysia, membuat Batam menjadi titik transit ideal bagi sindikat perdagangan manusia untuk menyelundupkan korban ke negara-negara tersebut.
Jalur laut dari Batam sering digunakan karena pengawasan yang relatif longgar dibandingkan jalur udara.
Tingginya Arus Migrasi Ilegal
Batam sering menjadi tempat persinggahan para pekerja migran non-prosedural yang berusaha mencari pekerjaan di luar negeri, terutama di Singapura dan Malaysia. Sebagian besar migran ini berasal dari daerah-daerah miskin di Indonesia, yang menjadi sasaran empuk bagi sindikat perdagangan manusia.
Migrasi ilegal ini sering kali melibatkan penggunaan kapal-kapal kecil atau perahu nelayan yang beroperasi di perairan Batam.
Keterbatasan Pengawasan dan Penegakan Hukum
Meskipun Batam merupakan wilayah yang diawasi oleh otoritas Imigrasi, TNI AL, dan Badan Keamanan Laut (Bakamla), luasnya perairan dan kompleksitas jalur pelayaran membuat pengawasan terhadap aktivitas ilegal menjadi sulit. Celah dalam pengawasan inilah yang dimanfaatkan oleh sindikat perdagangan manusia untuk menjalankan operasinya.
Peran UNCLOS 1982 dalam Pengawasan Zona Maritim Indonesia
United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 merupakan kerangka hukum internasional yang mengatur hak dan kewajiban negara-negara dalam memanfaatkan laut. Indonesia meratifikasi UNCLOS 1982 melalui Undang-Undang No. 17 Tahun 1985, yang memberi negara yurisdiksi atas perairan yang mencakup perairan teritorial, zona tambahan, dan zona ekonomi eksklusif (ZEE).
Setiap zona memiliki peran penting dalam pengawasan aktivitas maritim, termasuk dalam mencegah dan menindak kejahatan lintas negara seperti tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
Perairan Teritorial (Pasal 2 – 32 UNCLOS 1982) yaitu Perairan teritorial mencakup wilayah laut sejauh 12 mil laut dari garis pangkal. Di zona ini, Indonesia memiliki kedaulatan penuh atas wilayah laut, dasar laut, tanah di bawahnya, serta ruang udara di atasnya.
Kedaulatan ini memberikan hak kepada Indonesia untuk mengatur semua aktivitas di wilayah tersebut, termasuk aktivitas imigrasi, pabean, hingga keamanan maritim. Dalam konteks TPPO, perairan teritorial menjadi lokasi pertama yang sangat krusial untuk pengawasan dan penegakan hukum.
Di perairan ini, aparat keamanan maritim memiliki otoritas penuh untuk menangkap pelaku penyelundupan manusia serta mencegah aktivitas ilegal lainnya yang dapat mengancam keamanan negara. Selain itu, otoritas dapat menegakkan hukum terhadap kapal asing yang terlibat dalam aktivitas penyelundupan selama melintas di perairan tersebut.
Zona Tambahan (Pasal 33 UNCLOS 1982), dimana zona tambahan berada sejauh 24 mil laut dari garis pangkal. Fungsi utama zona ini adalah untuk mendukung pengawasan yang dilakukan di perairan teritorial. Di wilayah ini, Indonesia memiliki hak untuk mencegah dan menindak pelanggaran hukum terkait bea cukai, imigrasi, fiskal, serta kesehatan yang dilakukan di perairan teritorial.
Dalam hal perdagangan manusia, zona tambahan menjadi lapisan perlindungan kedua. Ketika aktivitas ilegal seperti penyelundupan manusia terdeteksi di zona ini, aparat berwenang dapat melakukan intervensi sebelum kapal atau individu tersebut memasuki perairan teritorial Indonesia. Fungsi ini sangat penting dalam menghadapi lonjakan migrasi ilegal, terutama di perairan Batam yang berbatasan langsung dengan negara lain seperti Singapura dan Malaysia.
Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) (Pasal 55 – 75 UNCLOS 1982), dimana zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) mencakup wilayah laut sejauh 200 mil laut dari garis pangkal. Di ZEE, Indonesia memiliki hak berdaulat untuk mengeksplorasi, mengeksploitasi, mengelola, serta melestarikan sumber daya alam laut.
Meskipun kedaulatan negara tidak sepenuhnya berlaku seperti di perairan teritorial, Indonesia tetap memiliki kewenangan untuk menegakkan hukum terhadap aktivitas ilegal yang terjadi di wilayah ini. Dalam konteks penanganan TPPO, ZEE berperan penting karena menjadi jalur lalu lintas utama kapal-kapal internasional.
Penyediaan patroli maritim dan kerjasama lintas negara di zona ini dapat memperkuat pengawasan terhadap jaringan perdagangan manusia yang sering memanfaatkan jalur-jalur laut internasional untuk menyelundupkan korban dari satu negara ke negara lain.
Pentingnya Perluasan Fungsi Keimigrasian dalam Pengawasan Maritim
Salah satu tantangan utama dalam pengawasan wilayah maritim Indonesia adalah lemahnya pengawasan keimigrasian di perbatasan laut, khususnya di wilayah-wilayah strategis seperti perairan Batam.
Batam, yang terletak di Kepulauan Riau, menjadi pintu gerbang utama bagi migrasi manusia dari dan ke Singapura serta Malaysia. Tingginya arus migrasi ilegal di wilayah ini menempatkan perairan Batam sebagai titik rawan perdagangan manusia. Banyak sindikat TPPO memanfaatkan celah pengawasan di perbatasan laut untuk menyelundupkan korban perdagangan manusia ke negara-negara tetangga.
Oleh karena itu, perluasan fungsi keimigrasian di perairan ini menjadi langkah strategis untuk memperkuat pengawasan terhadap pergerakan manusia yang melintasi zona-zona maritim tersebut.
Pasal 33 UNCLOS 1982 memberikan landasan hukum bagi Indonesia untuk meningkatkan fungsi pengawasan keimigrasian di zona tambahan. Dalam hal ini, Indonesia dapat meningkatkan frekuensi patroli laut oleh Direktorat Jenderal Imigrasi, TNI Angkatan Laut, dan Badan Keamanan Laut (Bakamla).
Kemudian Mengintegrasikan teknologi pengawasan berbasis Artificial Intelligence (AI) dan Automatic Identification System (AIS) untuk memantau pergerakan kapal di perbatasan laut. Dan menjalin kerja sama dengan negara-negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura, untuk pertukaran data intelijen dan operasi patroli bersama di perairan batam.
Selain itu, Pasal 8 UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian memberikan kewenangan kepada Direktorat Jenderal Imigrasi untuk mengawasi perlintasan orang di seluruh wilayah perbatasan, termasuk perairan. Dengan memperluas fungsi keimigrasian di wilayah laut, Indonesia dapat mendeteksi lebih dini pergerakan migran ilegal dan sindikat TPPO yang beroperasi di perairan perbatasan.
Upaya Preventif dan Penegakan Hukum dalam Mengatasi Perdagangan Manusia Berdasarkan UNCLOS 1982
Dalam mengatasi ancaman ini, upaya preventif dan penegakan hukum menjadi dua aspek penting yang harus berjalan secara sinergis. United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 memberikan kerangka hukum internasional yang dapat digunakan Indonesia untuk memperkuat langkah-langkah pencegahan dan penindakan terhadap kejahatan lintas negara ini.
TPPO di wilayah perairan Indonesia, khususnya di perairan Batam, melibatkan jaringan sindikat yang beroperasi lintas negara. Oleh karena itu, kolaborasi internasional diperlukan dalam beberapa aspek yaitu :
Pertukaran Data dan Informasi Intelijen dimana informasi mengenai pergerakan sindikat perdagangan manusia, jalur penyelundupan, dan identitas pelaku sangat penting dalam memutus jaringan TPPO. Kolaborasi dengan negara-negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand dapat mempercepat pertukaran data intelijen yang relevan.
Pasal 108 UNCLOS 1982 mendukung kerja sama internasional dalam berbagi informasi untuk melawan kejahatan lintas batas, termasuk perdagangan manusia.
Patroli Laut Terpadu antara Indonesia dan negara-negara tetangga bertujuan untuk meningkatkan pengawasan di perairan perbatasan yang rawan penyelundupan manusia.
Operasi ini dapat dilakukan melalui patroli gabungan di perairan Selat Malaka berdasarkan perjanjian bilateral atau multilateral dan penggunaan teknologi maritim seperti radar, drone, dan sistem pelacakan kapal otomatis untuk mendeteksi kapal-kapal yang dicurigai terlibat dalam TPPO.
Patroli gabungan ini sesuai dengan Pasal 100 UNCLOS 1982, yang mengatur kewajiban negara-negara untuk bekerja sama dalam penegakan hukum di laut, termasuk dalam memerangi kejahatan lintas batas.
Kerja Sama dalam Proses Hukum dan Ekstradisi dimana Pelaku TPPO sering kali melarikan diri ke negara lain setelah melakukan kejahatan di wilayah Indonesia. Kolaborasi internasional dalam bentuk perjanjian ekstradisi menjadi penting untuk memastikan pelaku dapat diadili di negara tempat kejahatan terjadi.
Pasal 27 dan 28 UNCLOS 1982 memberikan wewenang kepada negara pesisir untuk menegakkan hukum pidana di perairan teritorialnya. Namun, dalam kasus di mana pelaku melarikan diri ke negara lain, perjanjian ekstradisi dan kerja sama hukum internasional diperlukan.
Penerapan ASEAN Convention Against Trafficking in Persons (ACTIP), sebagai anggota ASEAN, Indonesia terikat pada ASEAN Convention Against Trafficking in Persons, Especially Women and Children (ACTIP), yang bertujuan untuk meningkatkan kerja sama regional dalam mencegah, menangani, dan mengadili pelaku TPPO. Konvensi ini memperkuat upaya penegakan hukum lintas batas di kawasan Asia Tenggara, termasuk di perairan Selat Malaka yang merupakan jalur perdagangan utama. ***
Penulisan Opini sepenuhnya tanggung jawab penulis, dan memahami aturan yang berlaku di KepriDays.co.id.