Oleh : William Hendri, SH.,MH.
Wakil Sekretaris ICMI Kota Tanjungpinang
Guru menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia didefinisikan sebagai orang yang pekerjaannya, mata pencahariannya, dan profesinya mengajar. UU No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen disebutkan bahwa Guru ialah seorang pendidik profesional dengan tugas utamanya mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini melalui jalur formal pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Dr. Ahmad Tafsir kemudian mendefinsikan Guru (pendidik) sebagai siapa saja yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik. Tugas guru dalam pandangan islam ialah mendidik. Mendidik merupakan tugas yang amat luas. Sebagian dilakukan dengan cara mengajar, sebagian ada yang dilakukan dengan memberikan dorongan, memberi contoh (suri tauladan), menghukum, dan lain-lain. Ahmadi menyatakan bahwa Guru atau pendidik berperan sebagai pembimbing dalam melaksanakan proses belajar mengajar. Menyediakan keadaan-keadaan yang memungkinkan peserta didik merasa nyaman dan yakin bahwa kecakapan dan prestasi yang dicapai akan mendapat penghargaan dan perhatian sehingga dapat meningkatkan motivasi berprestasi peserta didiknya.
Selanjutnya pada peringatan Hari Guru Nasional di Senayan Jakarta, Presiden Joko Widodo pernah mengungkapkan bahwa “Guru adalah agen perubahan karakter bangsa. Bangsa ini harus menjadi bangsa pemenang, tetapi tetap memiliki keluhuran budi pekerti yang tinggi”. Kemudian Menteri Pendidikan dan Kebudayaan juga memberikan pernyataan bahwa “guru adalah sosok yang memiliki sifat altruis. Tidak ada satupun orang sukses di dunia ini yang lepas dari sentuhan guru. Seorang guru rela menjadikan muridnya menjadi orang sukses, bahkan ia ikhlas menjadikannya lebih sukses daripada anaknya sendiri”.
Pasca dilakukannya amandemen UUD 1945, sebuah perubahan besar ikut terjadi di dunia pendidikan Indonesia. Manusia yang berprofesi sebagai guru di Indonesia ini dapat bernafas lega dikarenakan kersejahteraannya mengalami peningkatan, artinya negara sudah mulai memperhatikan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia yang berprofesi sebagai guru.
Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 menyebutkan bahwa Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Terhadap pasal ini, Jimly Asshiddiqie dalam buku komentar atas UUD Negara Republik Indonesia 1945 menyatakan bahwa Prioritas anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% ini mutlak wajib dipenuhi baik dalam APBN, APBD Provinsi, maupun dalam APBD Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia. Bagi daerah-daerah yang anggaran pendidikannya sudah mencapai 20% atau lebih, maka bukan berarti keperluan meningkatkan anggaran pendidikan itu menjadi selesai, karena yang dimaksud di sini hanyalah sekurang-kurangnya 20%, berarti bukan hanya 20%. Sesuai dengan tujuan bangsa Indonesia dalam bernegara, yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, maka menurut perkembangan kemampuan keuangan negara dan keuangan daerah, anggaran pendidikan itu harus diprioritaskan sesuai dengan perkembangan kebutuhan dari waktu ke waktu.
Dalam buku yang berjudul “Pendidikan Untuk Transformasi-Arah Baru Pendidikan Untuk Perubahan Mental Bangsa” yang disusun oleh Tim PGRI. Dinyatakan bahwa tujuan umum pendidikan Indonesia terangkai dalam tujuan pembentukan negara RI, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mecerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Rumusan ini adalah cita-cita yang menjadi arah sekaligus basis pengukuran berbagai upaya dan kinerja kebangsaan, terutama pendidikan sebagai episentrumnya.
Mengingat tugas berat yang diemban guru dalam menciptakan generasi mendatang yang berkualitas melalui proses pendidikan yang mengimplementasikan kurikulum, sudah selayaknya kesejahteraan guru perlu mendapatkan perhatian dan menjadi prioritas dalam pembangunan pendidik. Upaya peningkatan mutu guru yang tidak dibarengi dengan peningkatan kesejahteraannya niscaya kurang signifikan.
Wujud peningkatan kesejahteraan ini dilakukan melalui pengembangan sistem penggajian, pemberian penghargaan, dan perlindungan yang setara dan layak dengan perjuangan dan kegigihannya dalam memberikan pendidikan yang bermutu tersebut. Penggajian, penghargaan, dan perlindungan bagi guru pada pendidikan formal merupakan pengakuan atas prestasi yang tercapai dan pengabdian yang telah dilaksanakannya. Penggajian, penghargaan, dan perlindungan guru ini difokuskan untuk memberikan suntikan energi dan motivasi bagi guru agar tidak henti-hentinya melakukan refleksi diri untuk melakukan inovasi dan pengembangan diri secara terus-menerus.
Penggajian, penghargaan, dan perlindungan guru ini diharapkan dapat mengangkat derajat profesi guru sebagai profesi yang menjadi pilihan utama berdasarkan panggilan jiwa. Guru bukan lagi sebagai profesi sampingan, transisi, cadangan, ataupun bukan pilihan utama yang sangat tidak menarik. Dengan demikian, guru tidak lagi sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, tetapi sebaliknya guru dengan jasanya mendidik anak bangsa berhak menjadi pahlawan dengan tanda jasa. Guru memiliki hak untuk mendapatkan penggajian, penghargaan, dan perlindungan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja.
Penggajian, penghargaan, dan perlindungan sebagai salah satu upaya menuju profesionalisme guru pada pendidikan formal bertujuan untuk : 1) meningkatkan prestasi, pengabdian, profesionalitas, dan kesejahteraan guru; dan 2) memberikan rasa aman kepada guru sehingga guru dapat lebih kreatif dan motivatif dalam melaksanakan tugas profesionalnya dengan baik. Penggajian, penghargaan, dan perlindungan bagi guru dilakukan berdasarkan latar belakang pendidikan, pengalaman, kemampuan, prestasi kerja, dan dedikasinya dalam bidang pendidikan.
Namun dengan ini, pada kenyataannya di lapangan yang terjadi sangat jauh berbeda alias berbanding terbalik. Guru dalam struktur dunia pendidikan dan kepegawaian di Indonesia ternyata terbagi-bagi status dan peran fungsinya. Guru yang berstatus PNS tentu sangat jauh berbeda dengan guru yang berstatus non PNS seperti guru honor daerah (honda) dengan SK kepala daerah, guru dinas (SK Kepala Dinas), guru yang digaji oleh sekolah bersangkutan dan lainnya.
Guru non PNS inilah yang sekarang menjadi fenomena di Indonesia. Nasib, masa depan dan kesejahteraannya selalu dalam ketidakpastian dan negara sampai saat ini juga tidak dapat memberikan kebijakan yang pasti terhadap nasib mereka, apalagi dengan setiap pergantian rezim atau penggantian menteri yang membidangi pendidikan maka kebijakan selalu berubah-ubah.
Miris jika kita melihat nasib guru non PNS yang digaji hanya sebesar 1 juta perbulan bahkan ada juga yang digaji 300 – 500 ribu perbulan, yang jelas di dibawah standar UMK Tanjungpinang tahun 2018 sebesar Rp. 2.565.187 pada level buruh walau pengaturan profesi guru tidak tunduk pada UU Ketenagakerjaan, dan hal ini terjadi juga di Kota Tanjungpinang. Bagaimana mungkin mereka dapat menghidupkan keluarga jika tenaga pengajar non PNS tersebut memiliki pendapatan bulanan sebesar sebagaimana tersebut. Dengan kondisi seperti ini, tidak sedikit guru seperti ini mencari sampingan pendapatan diluar, bahkan ada juga menjadi kuli bangunan sebagai kerjaan sampingan. Padahal dalam transformasi ilmu dari pendidik ke peserta didik tidak boleh terganggu dengan hal semacam ini demi tujuan membangun dan mendidik generasi bangsa kedepan, konsentrasi pendidik mesti seratus persen dalam hal transformasi ilmu ke peserta didik. Dimana tanggung jawab negara ketika hal ini terus-menerus terjadi. Ternyata nasib Umar Bakri-nya Iwan Fals hanya mengalami pergeseran ke guru yang berstatus non PNS. Yang lebih miris lagi, seperti tercipta “stratifikasi” yang tajam di sekolah yang mana guru non PNS di label dengan status yang rendah dan guru PNS di label sebagai berstatus lebih tinggi. Pada realitas yang terjadi dilapangan bahwa selalu guru PNS dan non PNS dalam hal pekerjaan dan kewajiban diberikan beban yang sama namun ketika berbicara tentang hak tentu berbeda bahkan sangat jauh berbeda.
Menteri keuangan Sri Muyani pernah mengkritisi kualitas guru yang ada di tanah air, beliau mengatakan “yang terima gaji guru tetap, yang mengajar guru honorer”. Hal-hal ini justru banyak dialami pada guru-guru non PNS di tingkat Sekolah Dasar. Guru non PNS di Sekolah Dasar sering mengalami penganiayaan secara sistem, kewajiban selalu dituntut sama namun hak tidak boleh sama bahkan bermimpi untuk bisa sama. Yang lebih menyedihkan lagi, pihak diluar lembaga pendidikan yang juga berstatus lembaga pemerintahan yang juga dalam lingkup pemerintah daerah menuntut agar sama terkait dengan jam kerja. Dengan tuntutan ini, jam kerja guru akhirnya pun di tambah, tanpa ada penambahan gaji atau pendapatan bagi guru non PNS.
Ada benarnya yang dinyatakan oleh Eko Prasetyo, bahwa pemerintah belum sepenuhnya memberikan prioritas pada dunia pendidikan. Dalam pikiran para pengambil kebijakan keberatan atas sektor pendidikan bisa jadi dilatarbelakangi oleh sejumlah penyebab : Pertama, pendidikan memakan waktu yang lama sehingga hasilnya tidak bakal terlihat selama jangka waktu kekuasaan yang usianya sekarang hanya lima tahun. Pendidikan bukan program yang bisa dipamerkan secepat mungkin, padahal jika kekuasaan hendak bertahan maka peningkatan kualitas pendidikan bisa diukur dengan penglihatan mata telanjang. Pendidikan memang bukan seperti membuat jembatan yang bisa dilihat hasilnya secepat mungkin. Pendidikan juga bukan seperti membuat jalan yang bisa dinikmati dan dirasakan langsung. Pendidikan merupakan investasi sumber daya manusia yang memerlukan jangka waktu, asuhan, perawatan yang cukup lama. Itu sebabnya pendidikan kurang menarik bagi penguasa yang terbiasa berpikir pendek. Hanya penguasa seperti Hatta dan Tan Malaka yang melihat pendidikan merupakan asset penting sebuah bangsa; Kedua, pendidikan mungkin dirasakan memakan biaya yang besar dan elit politik disini tampaknya sukar untuk diajak berpikir dalam durasi yang panjang. Mereka terbiasa berpikir dalam jangka pendek dengan hasil yang bisa dirasakan secepatnya dan ini membuat lebih baik anggaran besar dialokasi pada sektor lain ketimbang sektor pendidikan. Elit politik masih sibuk mengurusi bagaimana cara untuk memperkaya diri sendiri. Cerita tentang keinginan untuk mendapat pesangon yang besar, untuk memperoleh fasilitas yang mewah dan bagaimana tunjangan jabatan menjadi berita sehari-hari. Untuk baju dinas saja elit politik bisa menganggarkan ratusan milyar. Untuk perumahan dan mobil mereka bisa beradu argumentasi dengan keras. Tapi untuk membangun tempat pendidikan yang rusak bagunannya tentu mereka akan mencoba mencari permakluman. Masak gedung sekolah dasar bisa mengalami kerusakan yang hebat jauh melampaui rumah sejumlah pejabat yang rata-rata mewah dan megah. Ringkasnya argumen pendidikan memakan biaya yang besar menjadi tipu muslihat karena ada alokasi dana yang jauh lebih besar tapi dialokasikan untuk kebutuhan yang tidak bermanfaat; Ketiga, perhatian pendidikan kecil, juga dipengaruhi oleh realitas politik yang kini dipenuhi oleh para pemain yang masih melihat pendidikan sebagai komoditi bukan sebagai bagian dari kekuatan peradaban. Karena komiditi maka membereskan pendidikan seperti memperbaiki mesin kendaraan, hanya diutak-atik kurikulumnya dan bangunan fisiknya bukan pada dasar-dasar fundamentalnya.
Misalnya pendidikan untuk calon guru yang masih di bawah standar. Berulang kali lembaga pendidikan yang melahirkan guru ini diubah statusnya melulu tanpa perubahan paradigma yang lebih mendasar.
Guru non PNS tidak sama dan tidak dapat disamakan dengan buruh. Darmaningtyas dalam bukunya “Pendidikan Yang Memiskinkan” menyatakan bahwa berbagai tipe, fungsi, dan motivasi seorang guru, menyebabkan banyak diantara guru yang tidak dapat mengidentifikasi dirinya sebagai seorang guru, sehingga mereka cenderung mengidentifikasikan dirinya dengan seorang buruh pabrik. Meskipun sekolah-sekolah formal sekarang telah dicurigai telah berkembang menjadi industri, namun sesungguhnya ada perbedaan mendasar antara profil seorang buruh dengan seorang guru. Perbedaan-perbedaan itu antara lain : Pertama, untuk menjadi seorang guru dibutuhkan persyaratan khusus, minimal dalam ukuran tingkat, seperti lulusan IKIP atau FKIP (Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan). Sedangkan untuk menjadi buruh, tidak bersekolah sama sekali pun bisa diterima asalkan memiliki keterampilan cukup; Kedua, soal pola kerjanya. Buruh akan bekerja secara rutin dari hari ke hari akan menjalani ritme kerja yang sama. Sedangkan seorang guru harus lebih kreatif, variatif, dan inovatif. Sebab, bila berjalan rutin dari hari ke hari, maka akan terasa menjemukan dan tidak punya makna bagi dirinya sendiri maupun dihadapan murid; Ketiga, soal objek yang dihadapi. Mayoritas buruh, kecuali buruh peternakan atau perikanan, menghadapi benda mati. Tapi, guru menghadapi benda hidup yang dapat berinteraksi langsung dengannya, sehingga memerlukan pendekatan yang manusiawai pula. Para murid, tidak dapat diperlakukan seperti halnya benda-benda mati atau benda hidup yang tidak bisa bicara; Keempat, institusi tempat kerja. Buruh bekerja disebuah perusahaan yang sengaja didirikan untuk meraih keuntungan yang sebesar-besarnya. Oleh sebab itu, mekanisme kerja seorang buruh lebih ditekankan pada segi efisiensi dan produktifitas daripada menarik dan inspiratif. Sedangkan guru bekerja di sebuah institusi yang sengaja didirikan untuk mencerdaskan manusia sekaligus mendewasakannya. Prinsip kerja seseorang guru bukan pada efisiensi, melainkan menyenangkan, komunikatif, kreatif, variatif, dan inovatif sehingga mampu mengembangkan diri maupun murid. Guru yang dikelola dengan menggunakan prinsip-prinsip efisiensi dan efektifitas tidak akan berkembang sekaligus tidak akan memberikan makna apapun bagi semua yang berada dalam insititusi tersebut, mengingat seringkali kreatifitas dan inovasi itu bertolak belakang dengan efisiensi; Kelima, produk yang dihasilkannya. Buruh memproduksi sesuatu yang dirinya sendiri belum tentu tahu siapa yang akan menggunakan produknya. Prinsip mereka adalah menjalankan tugas untuk mendapatkan upah. Tapi, seorang guru harus sadar dan tahu persis apa yang diproduksinya, sekaligus tahu bahwa orang yang akan merasakan manfaatnya dari apa yang mereka “produksi” itu; dan Keenam, ikatan. Buruh diikat dengan upah semata, sedangkan guru, selain diikut dengan upah, juga diikat dengan tanggung jawab moral dan sosial.
Selanjutnya Darmaningtyas menjelaskan dengan ini bahwa guru tidak dapat dipersamakan dengan buruh. Penyamaan profesi guru sekaligus mereduksi peran guru sekaligus mereduksi makna pendidikan itu sendiri. Oleh karena keduanya memiliki perbedaan yang mendasar, maka perlakuan pada guru tidak dapat disamakan dengan perlakuan pada buruh. Memutus hubungan kerja (PHK) terhadap 100 buruh dari sebuah perusahaan tidak akan mengganggu proses produksi, karena secara mudah akan dapat digantikan oleh 100 buruh baru. Tapi, PHK terhadap 100 guru, dampak buruknya tidak hanya dirasakan oleh para guru yang bersangkutan, tapi juga ratusan atau bahkan mungkin ribuan murid. Sebab, lama seseorang guru mengajar di suatu sekolah akan berpengaruh besar terhadap pembentukan pribadi murid, dan penguasaan materi yang lebih baik. Sehingga orang yang menggantikan guru yang di PHK belum tentu mampu menjalankan peran seperti yang dilakukan oleh guru yang digantikannya. Itu sebabnya, manajemen personalia guru tidak dapat disamakan dengan manjemen personalia seorang buruh. Dengan memberikan perhatian lebih besar kepada para tenaga pendidik itu dengan sendirinya telah memberikan kesempatan bagi para guru untuk menunaikan tugas mereka secara maksimal sehingga bisa diperoleh hasil yang lebih baik. Mutu pendidikan pada umumnya diharapkan bisa meningkat karena kesejahteraan gurunya sudah diperhatian.
Melihat kondisi pendidikan di Tanjungpinang saat ini, kita mungkin boleh patut memberikan sedikit apresiasi kepada Pemerintah Daerah melalui Dinas Pendidikan yang berniat mulai tahun 2019 akan menaikkan gaji guru non PNS. Dengan ini, harapan kita kedepan pada dunia pendidikan di Indonesia secara umum dan Tanjungpinang secara khsusus, agar pemerintah dapat lebih serius memperhatikan dan mampu mengayomi baik secara moril maupun materil bagi tenaga pendidik terkhusus pada guru non PNS. Maka dengan ini “ciptakan generasi bangsa yang berkualitas dengan terlebih dahulu meningkatkan dan menjaga kualitas guru (moril dan materil)”. (*)