Antara Anak dan Gawai di Tengah Pandemi

Lutfi Humaidi
Doktor Ilmu Penyuluhan Pembangunan IPB, ASN Balitbang Kementerian Pertanian dan Asisten KPAI 2010-2017

KepriDays.co.id-Pandemi virus corona (Covid-19) mengharuskan kegiatan belajar anak di sekolah diganti lewat e-learning, belajar jarak jauh secara darling. Meski demikian, secara umum dalam proses pelaksanaan kegiatan distance learning pihak sekolah dan orangtua telah menghadapi berbagai macam kendala. Tak sedikit orangtua ataupun anak yang mengeluh karena tak mampu mengikuti aturan belajar dari rumah. Masih banyak orangtua yang gagap mengondisikan peralatan yang diperlukan dan menata mental agar tujuan kegiatan belajar mengajar tercapai. Tak sedikit pula guru dan sekolah yang gamang, tidak siap. Para guru dan sekolah mesti memiliki jiwa kreatif, inovatif dan solutif bagaimana metode mengajar jarak jauh yang efektif.

Pada awal penerapan kebijakan belajar dan bekerja dari rumah, anak dan orangtua senang dapat berkumpul bersama di rumah. Namun, setelah masuk minggu kedua dan seterusnya mulai merasa bagaikan orang tahanan dengan gerak terbatas, dan stress mulai muncul. Tak sedikit anak maupun orangtua yang mulai bosan dan tak sabar belajar dari rumah karena tak setertib belajar di lingkungan sekolah. Orangtua mulai menyadari bahwa menjadi guru itu tak mudah. Mayoritas orangtua tak mampu menerapkan home schooling di lingkungan rumahnya. Orangtua tak mudah memindahkan suasana belajar di sekolah ke dalam rumah. Kita wajib berterima kasih kepada guru dan sekolah yang telah mendidik anak kita dengan baik dan penuh tanggungjawab.

Sarana teknologi yang perlu dipersiapkan dalam mendukung belajar jarak jauh adalah gawai dan jaringan internet. Ini bagi orang yang biasa kerja di kantor dengan budaya kerja yang sudah mapan, di lengkapi sarana teknologi yang sudah standar, mudah melakukan penyesuaian. Bekerja dan belajar dari rumah akan membawa suasana keintiman dan kehangatan keluarga semakin terasa. Namun, bagi keluarga yang rumahnya kecil, bahkan tidak sedikit ada keluarga yang hanya tinggal dalam satu kamar ukuran 3 x 3 m2 dihuni suami istri (bapak dan ibu) dan 2-3 anak bahkan lebih (pengalaman saat invesitigasi kasus anak di Jakarta, 2013), ditambah penghasilan hanya pas-pasan, pasti suasana terasa sesak, pengap dan terjepit apalagi dalam situasi krisis. Kondisi keluarga seperti ini sudah pasti mengalami kesulitan dalam mempersiapkan dan melengkapi kebutuhan belajar jarak jauh.

*Gawai dan Anak*
Teknologi gawai telah berkembang pesat di seluruh dunia. Gawai yang menggabungkan layanan internet dan ponsel, menawarkan layanan yang berbeda secara kualitatif selain manfaat yang ditawarkan internet. Penggunaan gawai pada masyarakat modern dewasa ini, baik dalam kehidupan profesional maupun pribadi semakin tinggi. Gawai menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari, baik di ruang kerja, publik, maupun keluarga. Gawai di satu sisi dapat dijadikan sebagai media untuk memperkaya wawasan dan pengetahuan, namun di sisi lain juga dapat menimbulkan dampak buruk. Oleh karena itu, gawai saat ini telah memainkan peran penting dalam kehidupan.

Orangtua masa kini melihat gawai sebagai alat bantu paling praktis untuk mengalihkan perhatian pada anaknya. Orangtua sudah tidak mau atau mampu lagi untuk menyediakan atau mengalokasikan waktu bermain dan ngobrol bersama anak, sehingga gawai mendapat tugas sebagai peran pengganti orangtua untuk menemani anak dalam bermain bersamanya.

Kita semua sebagian besar mungkin sudah pernah merasakan misalnya saat dalam perjalanan, tiba-tiba gawai-nya ketinggal di rumah. Apa yang kita rasakan? Pasti stress, pusing, marah, mungkin langsung puter balik pulang ambil gawai, atau tetap melanjutkan perjalanan tapi dengan kondisi tidak tenang. Tidak membawa gawai berarti kita tidak bisa 24 jam online, tidak bisa membalas komentar teman-teman di media sosial, update status, sepi dan merasa tidak nyaman. Mungkin sudah seperti itu kondisi yang kita rasakan bersama atas fenomena gawai.

Survei yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2017 menyebutkan bahwa pengguna internet di Indonesia telah mencapai 143,26 juta orang atau 54,68 persen. Sekitar 75,5 persen pengguna internet tersebut berusia 13-18 tahun dan 44,1 persen diantaranya mengakses internet menggunakan gawai. The Crossmedia link studi oleh GfK (lembaga riset pasar) Maret 2016 melakukan riset di kota Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Surabaya, Bandung dan Semarang. Mayoritas yang turut menyumbang populasi online di Indonesia adalah lebih dari setengahnya (51%) didominasi anak.

Pada saat anak bermain menggunakan gawai sering terlihat asyik dan berkonsentrasi pada permainan yang dihadapinya. Salah satu kebiasaan anak-anak usia 4-5 tahun saat ini adalah menyukai permainan atau game yang berada pada gawai. Semakin dini anak mulai mengakses gawai maka semakin lama anak terpapar konten atau isi yang belum layak untuk anak. Apalagi pada saat pandemi Covid-19, untuk meredam rasa bosan karena tidak diizinkan keluar rumah, biasanya orang tua memberikan akses kepada anak untuk bermain game, menonton program kesukaan lewat video streaming seperti youtube dan tanpa pengawasan orangtua. Padahal banyak konten-konten yang tidak tepat ditonton anak yang tanpa sengaja akhirnya diakses anak.

*Literasi Digital Keluarga*
Kecakapan literasi digital, tentu saja bukan hanya berkaitan dengan keterampilan teknis mengakses media digital saja, namun juga kemampuan dalam memfilter beragam informasi dan hiburan yang disediakan oleh internet, termasuk di sini beragam aplikasi di gawai yang digemari anak-anak. Dengan demikian, literasi memiliki makna bukan hanya sebatas proses anak berinteraksi dengan internet, tapi juga bagaimana interaksi tersebut memiliki kontribusi pada beragam aspek tumbuh kembang anak. Dalam pengertian ini, literasi juga meliputi peran orangtua dalam mendampingi anak, terutama mereka yang berusia dini. Interaksi anak dengan gawai dan juga interaksi orangtua dengan anak dalam pendampingan menggunakan gawai idealnya merupakan suatu proses yang simultan. Apalagi di masa pandemi Covid-19, anak sedang menjalani kegiatan pembelajaran jarak jauh yang sudah barang tentu membutuhkan aktivitas berinteraksi dengan gawai semakin tinggi. Untuk itu, orangtua juga harus bersedia meluangkan waktunya untuk mendampingi anak-nya dalam memanfaatkan gawai sebagai media belajar anak.

Literasi digital keluarga tidak bisa ditumpukan pada ibu saja, yang sering dianggap sebagai pendidik utama keluarga, namun posisi yang sama juga ada pada ayah serta anggota keluarga lain. Para pakar parenting dan ahli teknologi mengamini ucapan Bill Gates. Karena penelitian juga telah membuktikan bahwa membiarkan anak menyentuh teknologi terlalu dini bisa berdampak buruk pada anak. Bill mengaku, bahwa dia dan bersepakat dengan Melinda (istri) menetapkan aturan ketat terkait memberikan gadget pada anak-anaknya. Meskipun anak mereka memprotes aturan tersebut, namun Bill tetap tegas. “Kami tidak membolehkan ada yang memegang ponsel pada saat makan. Kami juga tidak memberikan anak kami ponsel sebelum usianya 14 tahun, dan mereka mengeluh bahwa teman-teman merek sudah memiliki ponsel sebelum berusia 14 tahun,”ungkap ayah tiga anak ini.

Berikut ini adalah sederet aturan terkait penggunaan teknologi, yang diterapkan Bill Gates dan sang istri pada anak-anak mereka, yaitu: 1) melarang anak mereka memiliki gawai/ponsel sebelum berusia 14 tahun; 2) membatasi screen time, sehingga mereka punya waktu lebih banyak untuk dihabiskan bersama keluarga; 3) tidak dibolehkan membawa gawai/ponsel pada saat makan; 4) menentukan jam berlaku untuk melihat televisi dan gawai/ponsel setiap hari sehingga anak-anak bisa pergi tidur lebih awal dibanding anak lain.

Setiap orangtua harus mempunyai pola dalam memediasi anak dengan gawai disesuaikan kebutuhan dan usia anak. Pola mediasi orangtua akan berpengaruh terhadap perilaku anak dalam penggunaan gawai. Sejumlah peneliti telah mengkaji beragam jenis pola mediasi yang digunakan para orangtua dalam penggunaan gawai pada anak. Pola mediasi yang berbeda-beda berkaitan erat dengan sifat kepribadian anak yang berbeda-beda pula. Menurut penulis ada delapan pola media orangtua dalam penggunaan gawai pada anak, yaitu pola mendiskusikan, memperketat aturan, membatasi teknis akses, mengalihkan, menyediakan permainan alternatif, memeriksa setelah akses, memberi contoh akses, dan membebaskan. Uraian pola mediasi orangtua tersebut bersambung dalam opini berikutnya. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *