Oleh:
Denni Risman
Wakil Ketua Bidang Kesra PWI Kepri
Politik uang menjadi sorotan dalam Pemilihan Legislatif (Pileg), di mana belenggu politik uang semakin menggurita dan merasuki setiap fase pemilihan. Tak lagi hanya terjadi pada waktu-waktu tertentu, praktik ini telah menjadi api yang membara, menciptakan pertarungan brutal dan penuh kejutan.
Beberapa petahana mengalami kejutan tak terduga dengan penurunan drastis perolehan suara di daerah-daerah yang sebelumnya dianggap sebagai benteng kuat. Bahkan, ada yang mengaku kalah karena ‘tertekan’ oleh politik uang yang tak kenal ampun.
Tingkat brutalitas politik uang juga terlihat pada level yang lebih tinggi, termasuk dalam pertarungan di tingkat kota/kabupaten dan provinsi. Calon pendatang baru dengan sumber daya finansial melimpah muncul secara tiba-tiba, mengguncang persaingan politik.
Ada pula cerita tentang petahana terkejut dengan kekalahan di luar dugaan, harus merelakan kursi kepada calon pendatang baru yang ‘membelokkan’ permainan politik dengan uang.
Bagi mereka yang kalah, politik uang bukanlah rahasia lagi. Semua terang-benderang dalam pemilihan. Namun, siapa yang bisa mengusut dan mengungkapnya, menjadi tanda tanya.
Praktik politik uang melibatkan hampir semua unsur, dari oknum pejabat hingga lapisan bawah masyarakat. Politik uang seakan menjadi misteri, ada tapi tidak berada.
Meskipun politik uang telah merusak esensi demokrasi, bagi yang kalah, jangan larut dalam kekecewaan. Politik kadang-kadang tak berpihak pada kualitas atau integritas, tetapi pada kekuatan uang.
Cerita tentang politik uang ini menjadi perbincangan di warung kopi, mulai dari paket pemilihan dengan nilai tertentu yang disodorkan tim sukses hingga politik uang yang melibatkan oknum RT dan KPPS.
Keberpihakan politik uang harus dihentikan. Politik uang tak boleh merusak demokrasi kita. Meski kebenarannya sulit dibuktikan, tindakan melawan praktik ini harus terus dilakukan demi menjaga integritas demokrasi. ***