Tanjungpinang, KepriDays.co.id – Perjalanan H. Lis Darmansyah, S.H., seperti adegan-adegan dalam film. Ia pernah begitu susah, tak dikenal, bahkan memutuskan menjadi kuli bangunan ketika duduk di bangku kelas tiga SD.
Selain itu, ia bangun lebih awal ketika subuh datang, dan beranjak menyapu halaman rumah tetangga. Namun kemudian garis nasib mengikuti langkahnya. Ia merintis karir dalam dunia perhotelan, hingga sampai ke Inggris. Namun ia memutuskan pulang demi memenuhi permintaan sang ibu.
Tahun 2002, ia tercatat sebagai Ketua DPRD termuda kedua se-Indonesia. Waktu itu usianya baru 32 tahun lebih tujuh bulan. Sementara yang mendapat piagam dari Sekretaris Negara (Sesneg) RI, seorang ketua yang usianya dua bulan lebih muda dari Lis.
Dan tahun lalu, ia bersama Syahrul mencatatkan diri memenangi Pemilihan Wali Kota Tanjungpinang. Awal tahun 2013, ia dilantik sebagai Wali Kota Tanjungpinang periode 2013-2018.
Lis dilahirkan di Tanjungpinang pada 19 Maret 1970. Ia menjalani pendidikan dasar di SD 028 Tanjungpinang dan tamat pada 1983. Dalam periode itu, sempat juga Lis berpindah ke Jakarta, mengikuti sang Ibu Hj. Siti Halimah Tun Sa’dah Bachry.
Kemudian Lis melanjutkan ke SMP Negeri 03 Tanjungpinang pada periode 1983 sampai 1986. Ia kembali beranjak ke Jakarta dan menjalani pendidikan di SMA sampai tahun 1989.
“Waktu kecil, cita-cita saya ingin masuk AKABRI,” papar Lis.
Karena itu, ia pun kemudian mendaftar AKABRI. Saat menjalani tes, kebetulan pada bulan Ramadhan. Lis memutuskan untuk tetap berpuasa. Akibatnya tensi darahnya pun turun, 90 per 60. Karena itu ia dinyatakan gagal.
Lis langsung tancap ke Bandung, kuliah perhotelan di BPLP Bandung atau juga dikenal dengan nama Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung.
”Saya tak mau tes lagi tahun selanjutnya. Saya memilih kuliah,” paparnya.
Lis menyelesaikan program diploma tiganya di tempat tersebut, sebelum akhirnya memulai karir di dunia perhotelan.
Ia pertama kali bekerja di sebuah hotel yang ada di Bandung. Tiga bulan kemudian, ada sebuah lowongan untuk bekerja di Gatwick Airport Hilton di London, Inggris. Lis muda yang mencintai tantangan pun mengantri di antara sekitar 600 pelamar.
Kemudian tersaring enam orang, dan nama Lis terselip menjadi satu di antaranya. Dari enam orang itu, kembali disaring menjadi tiga orang, setelah menjalani tes di London. Kembali, dari tiga pelamar yang dinyatakan lulus, terselip nama Lis juga.
Karena itu, pada periode 1992 – 1993, Lis pun menjalani hidup di London. Setelah itu, dalam rentang waktu 1993 – 1994, ia melompat ke Dubai Hilton International Hotel di Dubai, Uni Emirate Arab (UEA). Sebuah surat datang dari Tanjungpinang, yang berisi kabar singkat: “ibunya sakit”.
Lis tak berpikir panjang kecuali segera kemas barang dan angkat koper,pulang ke Indonesia. Ia mendampingi sampai ibunya sembuh. Namun setelah itu, sang ibu memberi ia dua pilihan: orangtua atau pekerjaan.
“Saat itu, saya diberi dua pilihan oleh ibu, mau kerja atau mau pilih orangtua. Tentu saja saya pilih ibu, sebab pekerjaan bisa diganti,” paparnya.
Terjun di Politik
Saat kembali ke Tanjungpinang itulah, Lis memutuskan untuk melanjutkan kuliahnya ke jenjang strata satu. Ia berhasil memperoleh gelar sarjana hukum dari Fakultas Hukum, Universitas Lancangkuning, Riau. Pada periode ini, Lis mulai bergiat di partai politik. Pilihannya jatuh kepada PDIP.
“Saya pengagum Bung Karno,” katanya.
Sejak lama memang sebenarnya Lis sudah menjadi simpatisan PDIP. Ketika tahun 2000, ia waktu itu hanya bertekad membantu Leo, sang teman, agar bisa naik menjadi anggota dewan.
Namun ternyata terjadi pemekaran wilayah dengan terbentuknya Kota Otonom Tanjungpinang. Satu di antara kelengkapan tata pemerintahan sesuai undang-undang adalah pembentukan DPRD Kota Tanjungpinang.
Lis pada saat itu turut serta dalam pembentukan DPC PDIP Kota Tanjungpinang priode 2000 – 2005. Setelah kepengurusan terbentuk, Lis pun ditunjuk sebagai Wakil Ketua III DPC PDIP Kota Tanjungpinang periode 2000 – 2005.
Dan pada 2002, ketika DPRD Tanjungpinang terbentuk, Lis kemudian dihadapkan pada tawaran menggiurkan itu, dilantik sebagai anggota DPRD Tanjungpinang. Ia awalnya bersikukuh untuk tidak mau menerima tawaran itu. “Pilihan hidup saya adalah di dunia swasta,” paparnya.
Kemudian sejumlah pihak membujuknya. Ketika para teman gagal membujuk, mereka tidak habis akal. Didatangilah istri Lis, dan meminta perempuan itu ikut membujuk. Lis tetap kukuh pada pendiriannya. Namun terakhir, beberapa rekannya mendatangi sang ibu. Baru di sini Lis goyang.
“Kalau itu jalan hidupmu, kau harus berani jalani. Jangan jadi banci, tak jelas statusnya,” demikian Lis menuturkan kata-kata ibunya saat itu.
Ia menambahkan, Surga itu di bawah telapak kaki ibu. Setelah tanya pada ibu, ternyata selama ini ia tidak merestui bekerja di bidang perhotelan, yang juga penuh entertainment. Ibu bersumpah tak setuju.
“Tapi tidak diucapkannya, karena waktu itu, ibu membiarkan saya menjalani dulu hidup saya ini. Tapi belakangan, baru ia membuka semuanya. Karena ternyata tak ada restu ibu, tak berkah lah penghasilan saya,” kata Lis.
Ia pun akhirnya berubah pikiran, dan menerima tawaran menjadi anggota dewan.
Termuda Kedua
Kemudian dalam pemilihan ketua dewan, Lis berhasil keluar dengan suara terbanyak. Saat itulah ia nyaris mencatat sejarah dalam hal usia. Dalam data yang dikeluarkan oleh Sekretariat Negara pada 2002, Lis tercatat sebagai Ketua DPRD termuda kedua se-Indonesia. Usianya saat itu 32 tahun tujuh bulan, atau hanya lebih tua dua bulan dari sang pemegang rekor.
Pada pemilu 2004, Lis memutuskan mencalonkan diri untuk menjadi anggota DPRD Provinsi Kepri dari daerah pemilihan Tanjungpinang. Hasilnya, ia berhasil naik dan menjabat Ketua Komisi C DPRD Kepri sampai 2009. Setelah kembali terpilih pada pemilu 2009, ia pun kembali menduduki posisi Ketua Komisi III DPRD Kepri.
Tentu ini merupakan pencapaian besar dalam jejak karir seorang politisi. Namun, dari sisi lain, tidak banyak yang tahu bagaimana sosok Lis yang sebenarnya. Ternyata, perjalanan karirnya tidak lepas dari petuah-petuah dan nasehat sang ibu, Hj Siti Halimah Tun Sa’adah Bachry.
Bagi Lis, wanita itu adalah sumber inspirasi dan motivasi hidupnya. Jejak perjalanan Lis yang penuh lika-liku, juga tak lain diabdikan untuk sang ibu. Setiap pulang ke rumah sang ibu, ia selalu melakukan hal yang tak pernah terbayangkan oleh anak-anak pada zaman ini: duduk bersimpuh, mencium kaki ibunya sebelum mencium tangan wanita itu dengan penuh khidmat.
Kedekatan Lis dengan sang Ibu tak lepas dari garis takdir Allah SWT. Ketika berusia empat tahun, ia ditinggal pergi selama-lamanya oleh sang ayah tercinta Umar Bakri Malin Malelo. Bahkan Lis sampai saat ini tidak pernah mengenal dengan baik sosok sang ayah, karena masa-masa bersama lelaki tersebut hanya empat tahun.
Setelah sang ayah pergi, otomatis sang Ibu yang mengambil alih seluruh tanggung jawab keluarga, membesarkan 11 orang anak. Karena itu, tidak ada pilihan bagi sang ibu kecuali mendidik anak-anaknya secara keras agar mereka mandiri dan tidak cengeng menghadapi hidup. Didikan inilah yang mewarnai hidup Lis, anak ke-10 dari 11 bersaudara di keluarga tersebut.
Ketika kelas tiga SD, ia diajak abangnya Didik dan Joko untuk menjadi kuli bangunan. Waktu itu, pekerjaan yang ia lakoni adalah membangun Kantor Gubernur Provinsi Kepri, yang dulunya adalah Kantor Bupati Kabupaten Kepri, di Jl. Basuki Rahmat, Tanjungpinang. “Gaji saya waktu itu seribu rupiah satu hari,” paparnya.
Pekerjaan yang ia lakukan adalah mengaduk semen dan mengangkat pasir. Kebetulan waktu itu sekolahnya masuk siang. Jadi pukul tujuh pagi, Lis kecil sudah jalan kaki dari rumahnya di kawasan Pancur, menuju Jl. Basuki Rahmat, sejauh sekitar dua kilometer. Sampai di sana, ia mulai mengangkat material bangunan.
Ibu Lis adalah seorang wanita Melayu berdarah Jawa. Bila dilacak ke atasnya, ibu Lis masih masuk dalam garis keturunan Pangeran Diponegoro. Sang ibu juga selalu memberikan pemahaman kepada Lis bersaudara agar membiarkan hidup ini berjalan dengan apa adanya, seperti air, tetap mengalir. Air di mana pun ia mengalir, akan tetap bermanfaat.
Dipanggil Sang Khalik
Sabtu 18 Juni 2016, sang ibu tercinta walikota Tanjungpinang, Hj. Siti Halimatu Sa’diah binti Muhammad Bachri meninggal dunia. Esok harinya Minggu 19 Juni dimakamkan di daerah Sei Timun sudah berakhir pada Minggu, 19 Juni sekitar pukul 15.00 WIB.
Dengan suara bergetar Lis mengatakan dirinya merasa betul-betul kehilangan. “Saya merasa seperti kehilangan sebagian jiwa saya,” ungkap Lis dengan suara lirih.
Ungkapan ini tentu lahir dari pengalaman kedekatan batin antara Lis dengan ibunya. “Ibuku jantung hatiku,” ungkap Lis.
Lis mengaku, sejak kecil hingga menjadi seorang pejabat, sang ibu selalu berada di sampingnya, memberikan petuah, kekuatan dan bahkan perhatian sampai pada hal-hal yang kecil sekalipun.
Penulis: Maswito
Editor: Roni