Lingga, KepriDays.co.id – Muhammad Ishak, seorang birokrat senior yang juga pernah menjabat sebagai Ketua Lembaga Adat Melayu dengan gelar Datuk, lahir pada 24 Desember 1963 di sebuah kampung kecil bernama Pengkalan Rokam, Daik.
Kampung ini kini telah berubah menjadi hutan, tetapi dahulu merupakan bagian dari Kampung Mentok, Kelurahan Daik, Kecamatan Lingga (sekarang dikenal sebagai Kelurahan Daik Sepincan).
Perjalanan hidup Muhammad Ishak adalah kisah perjuangan dari seorang anak kampung yang tumbuh dalam kesederhanaan, hingga mencapai posisi yang terhormat di masyarakat Melayu.
Ishak adalah anak bungsu dari delapan bersaudara. Ayahnya, yang dipanggil “Encek” oleh keluarga, adalah seorang pria bernama Muhammad Thaib, atau lebih dikenal sebagai Cek Ayek.
Seorang pekerja keras, Cek Ayek menempuh berbagai pekerjaan untuk menghidupi keluarganya. Mulai dari berkebun, menyadap karet, menebang dan mengolah sagu, hingga menjadi nelayan sondong (nelayan udang tradisional) di masa tuanya.
Ibu Ishak, Kamariah, juga tidak kalah ulet. Selain membantu suaminya dalam berbagai pekerjaan, ia membuat atap dari daun sagu dan berdagang kain serta pakaian dari rumah ke rumah, terutama kepada saudara-saudaranya.
Kamariah adalah seorang perempuan yang gigih dalam bekerja untuk membantu membesarkan anak-anak mereka.
Ketika Ishak duduk di kelas lima SD, keluarganya harus menghadapi kenyataan pahit: sang ayah meninggal dunia pada tahun 1976 dan dimakamkan di Kampung Mentok, Daik.
Kepergian ayahnya meninggalkan duka mendalam, namun hidup harus terus berjalan. Ibunya terus berjuang, hingga akhirnya meninggal dunia pada tahun 2000 di Dabo Singkep.
Sejak kecil, Ishak sudah terbiasa bekerja keras. Ia membantu ibunya memotong karet, pergi ke kebun selepas sholat subuh, namun harus segera kembali karena harus bersekolah. Seringkali, ia pulang sambil memikul kayu bakar.
Selain membantu ibunya, Ishak juga membantu sang ayah menjajakan ikan dan udang sondong dari rumah ke rumah di Kampung Mentok. Pada sore hari atau saat liburan, ia tak jarang membantu kakak-kakaknya menjual karet, mencari kayu bakar, dan mengumpulkan bahan untuk membuat atap.
Ishak mengawali pendidikannya di SD 01 Daik pada tahun 1972 dan melanjutkan ke SMP I Daik pada tahun 1978. Meskipun hidupnya serba kekurangan, ia tetap berprestasi di sekolah, sering kali menduduki peringkat dua atau tiga di kelasnya.
Hidup di kampung berarti makanan sehari-hari seringkali berasal dari hasil sagu, seperti gubal. Namun, hal itu tidak menghalangi Ishak untuk meraih prestasi akademis.
Pada tahun 1981 menjadi titik balik bagi Ishak ketika ia pindah ke Dabo Singkep. Di kampung asalnya, Daik, belum ada SMA, sehingga ia melanjutkan pendidikan di SMA 1 Singkep.
Selama di Dabo, Ishak tinggal di rumah kakak kandungnya yang terletak di depan Kantor Camat Singkep.
Di SMA, Ishak tidak hanya aktif dalam akademik, ia juga dikenal karena jiwa kepemimpinannya. Di kelas satu, ia berhasil masuk tiga besar, dan ketika duduk di kelas tiga IPA 2, Ishak dipercaya menjadi ketua kelas sekaligus Ketua Majelis Perwakilan Kelas (MPK) pertama di sekolah tersebut.
Setelah lulus SMA pada tahun 1984, Ishak menghadapi dilema besar. Tanpa sosok ayah yang dapat membimbing dan memberikan arahan, ia sempat berpikir untuk tidak melanjutkan pendidikan.
Namun, dorongan dari saudara-saudaranya membawanya ke Pekanbaru untuk melanjutkan studi di Universitas Riau (UNRI).
Pada awalnya, Ishak bingung memilih jurusan, namun berkat bimbingan seorang senior, ia akhirnya mendaftar di Fakultas Perikanan. Meskipun sempat mencoba mendaftar ke jurusan lain, Ishak tetap melanjutkan kuliahnya di Fakultas Perikanan hingga lulus pada tahun 1990.
Perjalanan hidup Muhammad Ishak adalah bukti bahwa dengan tekad, kerja keras, dan dukungan keluarga, seseorang dapat meraih kesuksesan, meskipun harus menghadapi berbagai tantangan hidup.
Dari seorang anak kampung yang harus bekerja membantu orang tua, hingga menjadi birokrat senior dan Ketua Lembaga Adat Melayu, kisah hidup Muhammad Ishak merupakan inspirasi bagi generasi muda untuk terus berjuang meraih mimpi, apa pun rintangan yang dihadapi.
Editor: Roni