Oleh :
Raja Dachroni
Direktur Gurindam Research Centre
Kepridays.co.id-Memang aneh, jika rezim atau zuriat kerajaan di Indonesia sudah menyerahkan kekuasaannya untuk dikelola atau dikompetisikan ke masyarakat sipil melalui sistem demokrasi, tetapi justru demokrasi diperalat oleh sebagian elit untuk mengembalikan benih-benih dinasti yang sudah lama sekali kita tinggalkan.
Kita sering menyebutnya dengan istilah politik dinasti. Setuju atau tidak, politik dinasti memberikan efek buruk bagi demokrasi kita.
Praktek politik dinasti ini terlihat dalam setiap pesta demokrasi baik Pilkada maupun Pemilu. Dari ayah, kakak, adik, suami dan istri kerap meramaikan bursa pencalonan.
Secara regulasi, memang hal ini tidak menyalahi aturan tapi secara etis ini tentu tidak baik bagi kesehatan demokrasi kita.
Meminjam pendapat Zulkieflimansyah Dampak Negatif Apabila Politik Dinasti Diteruskan
Pertama, menjadikan partai sebagai mesin politik semata yang pada gilirannya menyumbat fungsi ideal partai sehingga tak ada target lain kecuali kekuasaan. Dalam posisi ini, rekruitmen partai lebih didasarkan pada popularitas dan kekayaan caleg untuk meraih kemenangan. Di sini kemudian muncul calon instan dari kalangan selebriti, pengusaha, “darah hijau” atau politik dinasti yang tidak melalui proses kaderisasi.
Kedua, sebagai konsekuensi logis dari gejala pertama, tertutupnya kesempatan masyarakat yang merupakan kader handal dan berkualitas. Sirkulasi kekuasaan hanya berputar di lingkungan elit dan pengusaha semata sehingga sangat potensial terjadinya negosiasi dan penyusunan konspirasi kepentingan dalam menjalankan tugas kenegaraan.
Ketiga, sulitnya mewujudkan cita-cita demokrasi karena tidak terciptanya pemerintahan yang baik dan bersih (clean and good governance). Fungsi kontrol kekuasaan melemah dan tidak berjalan efektif sehingga kemungkinan terjadinya penyimpangan kekuasaan seperti korupsi, kolusi dan nepotisme.
Efek lain menurut hemat penulis politik dinasti melahirkan kebijakan-kebijakan kasur atau kebijakan meja makan yang harusnya dikompromikan di ruang publik baik secara formal maupun subtansial menjadi kompromi di kasur atau meja makan.
Nah, sebentar lagi kita memulai tahapan penting dalam Pilkada serentak 2020. Mari kita mendorong partai politik tidak melakukan praktek politik dinasti itupub kalau kita tidak mau merasakan efek buruknya, jika pun ada parpol yang sudah memutuskan pasangan calon Pilkada dengan pendekatan politik dinasti secara politik mari kita hukum dengan tidak memilihnya karena dengan memilihnya kita akan rasakan efek buruknya dan tidak sehat bagi kesehatan demokrasi kita. (***)