Memaknai Hari Santri Nasional 22 Oktober

oleh Mhd Munirul Ikhwan
Santri dan Hobi Ngopi

KepriDays.co.id-Pemerintah Republik Indonesia melalui Keppres nomor 22 Tahun 2015 telah menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional (HSN). Tentu 22 Oktober merupakan hari dan tanggal yang spesial bagi santri.

Oleh karenanya, pada tanggal tersebut di banyak tempat dilakukan berbagai kegiatan untuk memperingatinya. Tak terkecuali di Provinsi Kepri yang notabenenya sebagai bumi melayu yang lekat dengan keislaman.

Namun HSN sejatinya tidak cukup hanya diperingati saja, tetapi juga harus dimaknai. Sehingga nilai-nilai yang terkandung di dalamnya itu bisa diimplementasikan dalam kehidupan kita.

Sebelum memahami makna hari santri, hendaknya kita pahami dulu definisi santri. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) santri didefinisikan sebagai orang yang mendalami agama Islam; orang yang beribadat dengan sungguh-sungguh.

Sedangkan menurut KH. Hasani Nawawie Sidogiri, santri ditinjau dari tindak langkahnya adalah orang yang berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan mengikuti sunnah Rasul SAW serta teguh pendirian.

Beranjak dari definisi di atas, sebagai muslim sejati, tentulah kita semua harus berusaha masuk dalam kategori santri secara umum. Yakni mereka yang belajar ilmu agama dan bersungguh-sungguh mengamalkannya. Oleh katena itu, HSN ini hendaknya menjadi momentum merefleksikan makna santri.

Untuk merefleksikan makna santri itu, perlu lah kita ketahui nilai-nilai karakter di dalamnya. Karena memang HSN ini seyogyanya menjadi momen bagi kita untuk merefleksikan makna dan mengimplementasikan nilai karakter di dalamnya.

Pertama memiliki jiwa patriot dan cinta tanah air. Memang tak bisa dipungkiri, sejarah mencatat perjuangan kemerdekaan RI tak terlepas dari peran penting para santri. Bahkan setelah kemerdekaan pun santri ikut menjadi garda terdepan dalam mempertahankan kedaulatan negara menjaga NKRI.

Tanggal 22 Oktober yang ditetapkan sebagai Hari Santri Nasional sendiri merujuk pada peristiwa bersejarah yakni Resolusi jihad yang dicetuskan oleh KH Hasyim Asy’ari pada tanggal 22 Oktober tahun 1945 di Surabaya untuk mencegah kembalinya tentara kolonial belanda yang mengatasnamakan NICA.

KH Hasyim Asy’ari yang juga ulama pendiri NU menyerukan jihad dengan mengatakan bahwa “Membela tanah air dari penjajah hukumnya fardlu’ain atau wajib bagi setiap individu“.

Seruan Jihad itu membakar semangat para santri arek-arek Surabaya untuk menyerang markas Brigade 49 Mahratta pimpinan Brigadir Jenderal Aulbertin Walter Sothern Mallaby. Jenderal Mallaby pun tewas dalam pertempuran yang berlangsung 3 hari berturut-turut tanggal 27, 28, 29 Oktober 1945. Begitulah karakter patriot dan cinta tanah air para santri. Bagi santri masalah agama dan kebangsaan suda final. Cinta Tanah Air adalah keharusan.

Kedua santri berpegang teguh dengan al-Qur’an dan mengikuti sunnah Rasul serta teguh pendirian atau Istiqomah. Karakter seperti ini harus dimiliki setiap muslim. Sehingga dengan begitulah kita bisa menjadi muslim paripurna, bukan muslim identitas namun tak berkualitas.

Karena memang Islam bukan hanya sekedar identitas yang tertulis di KTP saja, tapi juga butuh aplikasi dan pembuktian dengan tindakan dan amal yang dilakukan dengan istikomah atau konsisten.

Untuk itu perlulah kita belajar ilmu agama. Karena tanpa ilmu mustahil kita bisa beramal dengan sempurna sesuai Alquran dan Sunnah. Antarkan anak-anak kita belajar ilmu agama di pesantren. Kemudian bagi yang sudah tua pun, jangan pernah malu belajar, namun malulah kepada sang pencipta dikarenakan kedunguan kita yang beribadah tanpa ilmu. Sehingga ibadah kita menjadi sepeti debu yang beterbangan.

Ketiga santri memiliki karakter Ahlakulkarimah. Yakni mengedepankan adab sopan santun dalam bertindak. Artinya tidak bertindak sembarangan dan sangat menjaga perilaku dan kesopanan terhadap sesama dalam bergaul.

Dalam belajar santri sangat menjaga etika dan adab dengan gurunya. Dalam bermasyarakat dia sangat menghormati tokoh agama, Kyai atau ustad. Dalam ber”medsos” dia menjaga perkataan dalam tulisannya. Tak sembarang menulis status atau bahkan komentar yang bertujuan mengolok-olok. Karena itu jauh dari etika seorang santri.

Kemdian santri juga tidak mudah terprofokasi. Bila ada informasi yang dia terima, dia selalu melakukan tabayun atau menelusuri kebenarannya.

Hal tersebut dilakukan semata untuk mencari keberkahan hidup. Karena bagi santri, keberkahan sangat berharga dan utama. Tak ada gunanya pintar namun tak beradab. Sehingga hidup jadi tak berkah. Berkah yang dimaksud adalah hadirnya kita di tengah masyarakat dinanti bukan dibenci. Hidup memberi manfaat bukan “mafsadat”.

Keempat adalah karakter mandiri. Kemandirian juga menjadi salah satu karakter utama bagi santri. Di pesantren, santri diajari mengatur dirinya sendiri; dibiasakan mengatur waktunya sendiri. Aspek pendidikan yang terpenting dalam hal ini tentu saja adalah masalah kedewasaan, yaitu bagaimana kita tidak terbiasa cengeng dan mudah mengeluh dengan masalah sehari-hari. Aspek ini selanjutnya mendorong kita berlaku jujur, cerdas, trampil, kreatif dan disiplin menghadapi segala sesuatunya.

Kemudian kelima adalah karakter kesederhanaan. Kesederhanaan membiasakan santri untuk berlaku qona`ah menerima apa adanya, dan tidak bersikap berlebih-lebihan. Kesederhanaan juga mengajarkan santri agar membiasakan diri memandang setara terhadap sesama tanpa membeda-bedakan status sosialnya.

Aspek ini kemudian mendorong kita untuk terbiasa dengan keadaan apa adanya. Menerima hasil ikhtiar yang kita lakukan dengan ikhlas, meskipun kadang tidak sesuai dengan keinginan, harapan dan ekspektasi. Namun itu dia terima sebagai takdir Tuhan yang harus diimani.

Dengan mengetahui makna dan beberapa nilai karakter santri, untuk selanjutnya kita melakukan introspeksi diri. Lakukan muhasabah dengan penuh keinsafan agar kita mampu memperbaiki diri. Sehingga dalam menjalani hidup ini, mudah-mudahan kita bisa menjadi santri secara hakiki.

Mari kita santrikan diri, kita bisa menjadi santri atas kesadaran diri untuk hidup lebih baik lagi. Teruslah belajar dan mengaji kemudian memperbaiki diri. (**)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *