oleh: Uray Ferry Haryanto, M.Pd
Dosen dan Ketua Unit Penjamin Mutu STAI MU Tanjungpinang
Di tengah gencarnya kebijakan merdeka belajar era Mendikbud Nadiem, Indonesia digegerkan dengan merebaknya wabah Corona Virus Disease (Covid-19). Dampaknya langsung dirasakan pada semua lini pendidikan, mulai dari TK, SD, SMP, SMA/SMK bahkan perguruan tinggi pun tak luput dari imbasnya. Sampai hari ini aktivitas di sekolah maupun kampus terpaksa diliburkan terkait masa tanggap darurat bencana hingga waktu yang belum ditentukan.
Makna libur pada alinea di atas bukan berarti pelajar dan mahasiswa terbebas dari kegiatan belajar. Pembelajaran tetap dilaksanakan dari rumah menggunakan sistem daring (online). Sistem ini memungkinkan belajar dilakukan dengan tatap muka secara virtual, sembari menerapkan physical distancing untuk menekan penularan virus corona. Penerapan sistem ini juga diharapkan dapat memutus rantai penyebaran corona dilingkungan sekolah dan kampus.
Pemerintah melalui Kemendikbud telah bekerjasama dengan berbagai platform dalam menyediakan aplikasi pembelajaran daring. Banyak platform media belajar yang dapat diakses secara gratis, seperti Edmodo, Google G Suite for Education, Microsoft Office 365, Quipper School, Zoom Cloud Meeting, Zenius, Kelas Pintar, Ruangguru, Sekolahmu, dan Rumah Belajar.
Kendati telah sebulan dilaksanakan dan sangat membantu disituasi krisis saat ini, rupanya tidak sepenuhnya mendapat respon positif. Banyak pihak mengeluhkan masalah yang terjadi ketika melaksanakan belajar daring. Pemberian tugas dengan deadline waktu yang singkat, ditambah pula kesulitan mendapatkan akses internet, alih-alih memudahkan pembelajar justru menyebabkan mereka lelah dan tertekan.
Masalah Pelajar dan Mahasiswa
Dikutip dari laman pengaduan online Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sejak 16 Maret hingga 9 April 2020 terdapat 213 pengaduan tentang masalah sistem belajar daring. Pengaduan tersebut berasal dari sejumlah pelajar diberbagai daerah mulai SD, SMP, dan SMA/SMK.
Seorang wali murid menceritakan bahwa teman-teman anaknya datang ke rumah karena tidak memiliki cukup kuota untuk mendengarkan pembelajaran dari guru mereka. Akhirnya, si anak bertemu dengan teman-temannya. Tujuan merumahkan anak-anak supaya tidak berkontak dengan banyak orang, yang terjadi malah terpaksa belajar kelompok karena masalah kekurangan kuota dan akses internet.
Selain itu, seorang wali murid juga mengadukan anaknya sudah berada didepan laptop pukul 6 pagi karena ada kelas bersama gurunya. Sementara tugas-tugas lain dengan deadline yang singkat telah menanti. Akibatnya anak tersebut tak sempat sarapan dan baru makan pukul 1 siang. Sang Ibu khawatir kondisi seperti ini malah menurunkan imun anaknya karena lelah dan telat makan.
Ada juga pengaduan dari wali murid yang mengaku bahwa anaknya masih kelas 3 SD tetapi harus mengerjakan antara 40-50 soal setiap hari. Ketika anaknya jenuh dengan soal yang begitu bayak, mau tidak mau sang Ibulah yang mengerjakan tugas tersebut. Sementara itu, pengaduan lain dari seorang siswa kelas VII SMP bercerita bahwa telah mengerjakan soal dari jam 7 pagi hingga pukul 5 sore. Saat dihitung total yang dikerjakan mencapai 255 soal.
Di tengah kemelud belajar yang tak kunjung usai, hadirnya program belajar via televisi oleh Kemendikbud menjadi alternatif solusi persoalan belajar daring. Program ini diadakan untuk memperluas akses layanan pendidikan bagi pelajar yang memiliki keterbatasan akses internet karena alasan ekonomi maupun letak geografis. Namun berdasarkan temuan di lapangan, program belajar via televisi ini masih memiliki celah kelemahan.
Sebagian materi yang ditayangkan sudah dipelajari saat di sekolah, sehingga siswa terpaksa mengulang pelajaran. Ada juga siswa yang melewatkan siaran belajar karena kekurangan informasi. Siswa tidak dapat bertanya langsung kepada narator ketika terjadi kebingungan, karena bukan interaksi belajar dua arah layaknya guru dan murid di kelas. Pemakaian bahasa saat memaparkan materi juga tidak formal. Bahkan tampilan gambar kurang jernih dan tanyangan soal terlalu cepat membuat siswa kewalahan mengikutinya. Selain itu, program ini hanya ditujukan untuk siswa saja, sehingga belum memberikan solusi pada mahasiswa di perguruan tinggi.
Banyak mahasiswa mengeluh kekurangan kuota internet semenjak mengikuti perkuliahan daring. Padahal hanya memakai grup whatsapp dengan durasi sekitar 20-30 menit tiap pertemuan. Apalagi saat dosen mengadakan kuliah tatap muka dengan zoom meeting akan banyak menguras kuota internet. Dahulu kuota 5 giga cukup digunakan untuk sebulan, sekarang hanya dapat dipakai dua minggu saja.
Masalah lainnya disampaikan oleh mahasiswa yang pulang kampung karena takut diberlakukan lockdown di daerahnya. Mahasiswa tersebut mengalami kesulitan jaringan internet karena lokasi tempat tinggal yang jauh dari perkotaan. Dia terpaksa memanjat pohon untuk mendapatkan akses internet selama perkuliahan berlangsung. Situasi belajar seperti ini amat mengkhawatirkan karena tidak kondusif dan dapat membahayakan nyawa mereka.
Selain akses internet, keluhan juga terjadi pada mahasiswa dari luar daerah yang harus melakukan self isolation (isolasi mandiri) selama 14 hari. Akibatnya aktivitas pembelajaran dan ujian daring menjadi terkendala. Diperpanjangnya jadwal belajar dari rumah dan bulan suci Ramadan yang sudah didepan mata menjadi alasan banyak mahasiswa mudik ke kampung halaman walaupun belum libur smester.
Ada juga keluhan mahasiswa mengenai tugas yang dianggap tidak masuk akal. Mereka mengakui harus menyelesaikan 6 hingga 8 tugas makalah untuk dikumpulkan pada pertemuan berikutnya. Tugas yang menumpuk sangat menguras stamina mereka, bahkan rela begadang demi menyelesaikan tugas tersebut. Padahal menjaga daya tahan tubuh merupakan prioritas ditengah pandemi saat ini.
Lain halnya dengan mahasiswa tingkat akhir. Tentu saja masalah yang dihadapi lebih kompleks. Berbagai problematika seperti jaringan yang lelet, kekurangan paket data, hingga gagal paham mengikuti arahan dosen pembimbing menjadi pelengkap masalah. Jangankan bimbingan skripsi online, menghubungi dosen pembimbing saja sulit bagi mereka.
Berbagai keluhan di atas merupakan segelintir dari sekian banyak masalah yang dihadapi para pembelajar di Indonesia. Minimnya fasilitas menjadi faktor utama penghambat proses pembelajaran. Fasilitas pembelajar di kota berbeda dengan pembelajar yang berada di desa atau kampung. Ketimpangan kondisi tersebut sudah pasti mempengaruhi kualitas pembelajaran selama wabah corona.
Tantangan Guru dan Dosen
Tidak adil rasanya memandang masalah dari satu sisi. Ada baiknya melihat sesuatu secara holistik dalam menyikapi sebuah permasalahan. Pada paragraf sebelumnya telah dideskripsikan berbagai masalah pelajar dan mahasiswa. Sama halnya dengan mereka, tentu saja guru dan dosen juga memiliki masalah tersendiri.
Perlu kita cermati, bahwasanya kondisi saat ini bukanlah situasi yang normal. Dampak corona memaksa konsep merdeka belajar yang diusung pemerintah langsung mendapat uji terapan. Instruksi belajar dari rumah menggunakan sistem daring mempercepat realisasi konsep merdeka belajar, padahal tidak semua orang dapat mengimplementasikannya dengan maksimal. Jika kondisi ini terus berlanjut, khawatir akan terjadi chaos pada proses pembelajaran.
Sebagai pengajar profesional, sudah menjadi tantangan guru dan dosen ketika dihadapkan pada situasi tersebut. Saat ini tugas dan tanggung jawab mereka benar-benar diuji sebagai manifestasi profesi yang diemban. Kiprahnya memastikan pembelajaran tetap terlaksana di tengah wabah corona layak diberikan apresiasi. Namun kenyataannya, tidak sedikit yang menyalahkan mereka ketika pemberian tugas dianggap beban dan melelahkan.
Sebenarnya pemberian tugas bukan bertujuan membuat pembelajar disibukan dengan pekerjaan rumah, melainkan adaptasi selama proses transisi belajar dari tatap muka langsung ke sistem belajar daring. Kondisi belajar yang berubah drastis saat ini menuntut pengajar menguasai teknologi. Pengajar lintas generasi memiliki tingkat penguasaan teknologi yang berbeda-beda tergantung pengalaman dan usia mereka. Ada yang mahir dalam hal digital, dan ada pula yang gagap teknologi. Kemampuan adaptasi tersebut menjadi tantangan guru dan dosen di era society 5.0.
Pemberian tugas juga semata-mata karena guru dan dosen ingin pembelajar lebih produktif, ketimbang menghabisakan waktu dengan bermain gadget. Ketika pembelajar tidak diberikan tugas atau pekerjaan rumah, khawatir mereka akan melanggar aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dengan pergi keluar untuk berkumpul bersama teman-temannya.
Selain itu, hal yang jarang diketahui dari guru dan dosen adalah tantangan yang mengharuskan mereka berjibaku dalam situasi belajar selama pandemi corona . Mereka terpaksa mendesain pembelajaran yang aktual diluar protap pemerintah. Semua ini disesuaikan dengan keterbatasan kondisi seperti minimnya fasilitas pembelajaran, kekurangan kuota dan jaringan internat, hingga masalah karantina mandiri . Tak jarang guru dan dosen akan disibukan dalam mendesain materi ajar, merancang teknik evaluasi dan instruksi yang tepat, bahkan antisipasi saat terjadi konflik belajar dengan sistem daring.
Mendesain pembelajaran berorientasi dari masalah yang dihadapi merupakan tantangan guru dan dosen. Tentu saja mereka tidak ingin membuat kesalahan, karena desain yang salah dapat berdampak pada kesehatan emosional dan mental pembelajar. Meski demikian, kegiatan belajar mengajar tetap dilaksanakan sebagai bentuk tanggung jawab laporan kegiatan. Oleh sebab itu, miris rasanya ketika kompetensi seorang pengajar yang tidak dimiliki orang awam, diragukan karena situasi belajar saat ini.
Menegosiasikan Pembelajaran
Belajar dari rumah yang sebelumnya tidak pernah terencana, menimbulkan pelbagai macam polemik terkait dengan masalah teknis pelaksanaan. Kurangnya persiapan mengenai teknis belajar dari rumah ini memunculkan variasi pembelajaran secara online yang dilaksanakan oleh para guru dan dosen. Penggunaan aplikasi belajar daring hingga model penugasan melalui grup dimedia sosial, menjadi masalah sekaligus tantangan demi tercapainya tujuan pembelajaran.
Menyikapi hal tersebut, sebetulnya masalah belajar daring dapat diselesaikan dengan cara membangun komunikasi yang baik antara pengajar dan pembelajar. Pada kondisi saat ini tidak ada salahnya jika guru dan dosen mulai menerapkan negosiasi dalam pembelajaran. Sama halnya dengan berniaga, jika dalam berniaga negosiasi dilakukan untuk mendapatkan keuntungan dan menghindari resiko kerugian, maka negosiasi dalam pembelajaran bertujuan mengatasi permasalahan atau konflik belajar dengan cara memilih jalan tengah sebagai penyelesaiannya.
Konsep negosiasi dalam pembelajaran memang belum begitu akrab dikalangan pengajar. Namun teori ini telah banyak dibahas diberbagai literatur atau jurnal. Seperti pendekatan belajar dengan Negotiated syllabus. Pengajar dan pembelajar dapat bernegosiasi dalam mencapai kesepakatan memahami apa yang sedang terjadi, apa yang perlu dilakukan, dan bagaimana cara menyelesaikannya.
Menegosiasikan pembelajaran harus dimulai dengan menjalin interaksi. Sesekali guru dan dosen perlu menanyakan sesuatu diluar pelajaran. Seperti menanyakan kabar dan menceritakan pengalaman selama mengikuti belajar daring. Mendengar “curhatan” pembelajar akan sangat membantu meringankan beban mereka. Tak perlu malu untuk melakukan hal yang sama. Selain dari segi emosional, menjalin komunikasi yang baik juga bermanfaat bagi kesehatan tubuh dan mental pembelajar.
Setelah mengetahui masalah yang dihadapi bersama, sebagai eksekutor guru dan dosen dapat melakukan decision making (pengambilan keputusan). Diperlukan penilaian dan kreativitas dalam membuat keputusan. Memilih beberapa alternatif untuk memecahkan masalah yang dihadapi berdasarkan intuisi, pengalaman, fakta yang terjadi dan berpikir secara rasional.
Alternatif tersebut menjadi tawaran untuk dinegosiasikan kepada pembelajar. Seperti ketika terjadi konflik belajar karena masalah kekurangan kuota dan akses internet. Pembelajar yang memiliki fasilitas memadai dapat belajar dengan sistem daring, sedangkan yang minim fasilitas dialihkan dengan sistem luring (luar jaringan). Belajar luring bisa menggunakan jasa kurir untuk mengambil dan mengantar tugas terjadwal jika lokasi tidak terlalu jauh. Bila tidak memungkinkan, pembelajaran tetap dapat dilakukan dengan portal Rumah Belajar yang disediakan Kemendikbud secara offline.
Begitu pula dalam memilih platform media belajar juga perlu dinegosiasikan. Jangan karena ingin mengikuti tren, lantas mengurangi kualitas pembelajaran. Ketika tidak mampu menggunakan zoom meeting lebih baik mengalihkan komunikasi pembelajaran lewat whatsapp grup adalah cara praktis agar materi ajar tetap ditelaah secara mandiri.
Esensi belajar dari rumah bukanlah tentang pemberian tugas dalam bentuk soal, melainkan membimbing pembelajar meningkatkan kegiatan literasi. Pengajar dapat memberikan penugasan yang menyenangkan seperti membaca novel tertentu, membaca buku cerita, dan menonton film edukasi lalu menceritakannya.
Membimbing pembelajar selama wabah corona sangat dibutuhkan. Dengan begitu pengajar bisa memantau siapa saja yang sehat dan yang mungkin terinfeksi corona sehingga harus dalam pengawasan.
Masih banyak alternatif belajar lainnya yang dapat dinegosiasikan bersama.
Tidak ada masalah belajar yang tidak bisa diatasi ketika terjadi kesepakatan antara pengajar dan pembelajar. Dengan menegosiasikan pembelajaran, maka tidak ada pihak yang dirugikan. Tidak ada lagi ketimpangan kondisi belajar, karena dapat dilakukan secara mandiri. Seperti yang dikatakan Ki Hajar Dewantara, “Jadikanlah setiap tempat sebagai sekolah, dan jadikan setiap orang sebagai guru.
Tentu saja tulisan ini tidak terlepas dari pandangan subjektif penulis yang mungkin bisa keliru. Terlepas dari itu, semoga apa yang disampaikan dapat menjadi masukan dan manfaat bagi dunia pendidikan, khususnya para rekan-rekan pengajar di seluruh Indonesia yang tengah dirundung dilema selama wabah corona. (*)