Jakarta, KepriDays.co.id – Surat utang (obligasi) merupakan salah satu efek yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) disamping efek lainnya, seperti saham, sukuk, Efek Beragun Aset (EBA), Dana Investasi Real Estat (DIRE), Dana Investasi Infrastruktur (DINFRA), dan produk derivatif lainnya. Obligasi dikategorikan sebagai efek bersifat utang.
Artinya investor yang membeli obligasi baik di pasar perdana (saat perusahaan pertama kali menerbitkan obligasi), atau di pasar sekunder (saat obligasi sudah tercatat di BEI), menjadi pihak yang meminjamkan dana kepada perusahaan dalam jangka waktu yang ditentukan.
Skema penerbitan, termasuk jangka waktu surat utang ini tercantum dalam prospektus surat utang saat diterbitkan. Ada dua jenis surat utang di pasar modal Indonesia berdasarkan penerbitnya, yaitu surat utang yang diterbitkan negara disebut surat utang negara (SUN) atau surat berharga negara (SBN).
SBN ada berbagai jenis, ada SBN yang diterbitkan dalam denominasi besar yang dikenal dengan SUN. Ada SUN yang diterbitkan dalam denominasi yang relatif terjangkau dan dibuat untuk para investor ritel, yang disebut Obligasi Ritel Indonesia (ORI).
Selain itu, ada juga Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah yang disebut dengan Sukuk Negara. Ada pula Sukuk Negara Ritel (Sukri) yang diperjualkan untuk investor ritel.
Jangka waktu penerbitan SUN dan Sukuk bermacam-macam mulai dari jangka waktu pendek, yaitu tiga tahun, lima tahun, 10 tahun hingga yang terpanjang, yaitu 20 tahun.
SUN yang berupa surat pengakuan utang ini ada yang diterbitkan dalam mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia sesuai dengan masa berlaku atau jangka waktunya.
Ketentuan mengenai SUN diatur dalam Undang Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara.
Sementara itu, Sukuk Negara adalah surat berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing.
Ketentuan mengenai SBSN diatur dalam Undang Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara.
Sukuk adalah Efek Syariah berupa sertifikat atau bukti kepemilikan yang bernilai sama dan mewakili bagian yang tidak terpisahkan atau tidak terbagi (syuyu’/undivided share) atas aset yang mendasarinya.
Selain negara, perusahaan pun bisa menerbitkan surat utang atau yang lebih dikenal dengan sebutan obligasi korporasi, yaitu obligasi yang diterbitkan oleh Perusahaan Swasta Nasional termasuk BUMN dan BUMD.
Keuntungan membeli SUN dan obligasi antara lain, mendapatkan kupon/fee/nisbah secara periodik dari efek bersifat utang yang dibeli. Pada umumnya tingkat kupon/fee/nisbah berada di atas bunga Bank Indonesia (BI rate). Kemudian, investor juga akan memperoleh capital gain dari penjualan efek bersifat utang di pasar sekunder.
Selain itu, surat utang memiliki risiko yang relatif lebih rendah dibandingkan instrumen lain seperti saham. Pergerakan harga surat utang tidak sefluktuatif saham. Bahkan efek bersifat utang yang diterbitkan oleh pemerintah dapat dikatakan sebagai instrumen yang bebas risiko (free risk), karena pemerintah dipastikan mampu membayar kupon/fee/nisbah dan pokok dari surat utang yang diterbitkan melalui anggaran pemerintah (APBN).
Risiko yang mungkin terjadi hanyalah jika negara penerbit obligasi tersebut bangkrut atau tidak lagi berdiri. Keunggulan lainnya pilihan seri efek bersifat utang yang bervariasi, baik dari jenis penerbit, perusahaan, jangka waktu, dan besaran kupon/fee/nisbah.
Sistem Penyelenggara Pasar Alternatif (SPPA) adalah sebuah platform perdagangan untuk pasar sekunder Efek Bersifat Utang dan Sukuk di Indonesia. SPPA ini merupakan layanan yang diberikan Bursa Efek Indonesia sebagai Penyelenggara Pasar Alternatif (PPA) berdasarkan amanah POJK No.8/POJK.04/2019 Tentang Penyelenggara Pasar Alternatif.
Selain SPPA, terdapat sistem lain yang digunakan untuk pelaporan transaksi Efek Bersifat Utang dan Sukuk yang dikenal dengan nama Centralized Trading Platform – Penerima Laporan Transaksi Efek (CTP-PLTE).
CTP-PLTE merupakan sistem elektronik, yang dapat digunakan sebagai sarana perdagangan dan pelaporan transaksi efek bersifat utang. SPPA telah terintegrasi dengan CTP-PLTE, sehingga Pengguna Jasa SPPA yang bertransaksi melalui SPPA, otomatis transaksinya telah terlapor di sistem CTP-PLTE.
Dengan diperdagangkannya efek bersifat utang, maka akan terjadi pembentukan harga efek bersifat utang, yang dipengaruhi oleh permintaan dan penawaran efek bersifat utang tersebut.
Mekanisme tersebut membuat investor bisa mendapatkan keuntungan dari selisih harga jual dan beli obligasi di pasar sekunder, yang disebut capital gain. Namun, investor juga berisiko mengalami kerugian (capital loss) apabila harga surat utang yang hendak dijual di pasar sekunder lebih rendah dibanding harga belinya.
Adapun beberapa faktor berikut dapat mempengaruhi harga wajar efek bersifat utang yang diperdagangkan di BEI. Faktor yang pertama adalah suku bunga. Besarnya suku bunga menjadi acuan bagi pembeli efek bersifat utang sebagai perbandingan dasar tingkat pengembalian yang diharapkan.
Tingkat suku bunga pasar dapat berupa BI rate. Ketika suku bunga pasar berubah, maka akan mempengaruhi harga efek bersifat utang. Pada saat tingkat suku bunga pasar mengalami kenaikan, sementara besarnya tingkat pengembalian atas efek bersifat utang adalah tetap, maka return riil dari investor dianggap menjadi relatif lebih kecil. Hal ini akan menyebabkan terjadi aksi jual efek bersifat utang, sehingga harga efek tersebut menjadi turun. Begitu pula sebaliknya.
Faktor kedua adalah risiko kredit. Risiko ini menggambarkan kemampuan penerbit efek bersifat utang dalam melakukan pembayaran bunga atau pelunasan pokok secara tepat waktu sesuai jatuh temponya. Pada umumnya, efek bersifat utang diperingkat secara berkala oleh Lembaga Pemeringkatan Efek. Oleh karena itu, investor dapat memanfaatkan informasi pemeringkatan tersebut untuk mengukur risiko investasi pada suatu efek bersifat utang.
Rating atau peringkat surat utang juga digunakan untuk menilai tingkat kredibilitas suatu perusahaan, serta juga dapat menggambarkan kinerja atau prospek perusahaan.
Ketika peringkat efek bersifat utang mengalami penurunan, mengindikasikan tingkat risiko penerbit (perusahaan) dalam memenuhi kewajibannya menjadi lebih rendah yang pada akhirnya dapat berpotensi gagal bayar. Kondisi ini akan menyebabkan harga efek bersifat utang tersebut mengalami penurunan. Hal ini disebabkan oleh permintaan atas efek bersifat utang yang juga mengalami penurunan karena dianggap tidak lagi menarik bagi investor.
Faktor yang ketiga adalah jatuh tempo surat utang yang tercatat di BEI karena memiliki periode jatuh tempo yang berbeda-beda. Pada saat jatuh tempo, penerbit memiliki kewajiban untuk mengembalikan seluruh pokok efek bersifat utang kepada investor.
Pada umumnya, harga efek bersifat utang berbanding terbalik dengan jangka waktu obligasi. Semakin pendek jangka waktu efek bersifat utang, maka akan semakin kecil tingkat ketidakpastian atau risikonya. Disamping itu, semakin mendekati tanggal jatuh temponya, maka harga efek tersebut akan semakin mendekati nilai nominalnya. ***